I. Pendahuluan
Dua buah cerita yang saya dapatkan dari email menginspirasi saya untuk menulis makalah ini. Astronot Amerika dan Rusia pada suatu ketika menghadapi permasalahan yang sama, yaitu mereka tidak bisa menulis di luar angkasa. Hal ini terjadi karena ketiadaan gaya gravitasi menyebabkan tinta pulpen yang mereka gunakan tidak mau mengalir pada saat digunakan untuk menulis. Ilmuwan-ilmuwan NASA kemudian melakukan berbagai penelitian untuk menemukan pulpen yang dapat digunakan untuk menulis di luar angkasa. Mereka akhirnya berhasil membuat pulpen anti gravitasi setelah melakukan penelitian dalam jangka waktu yang lama dan menghabiskan banyak biaya. Apa yang dilakukan oleh astronot Rusia untuk mengatasi permasalahan tersebut ? Mereka mengganti pulpennya dengan pensil untuk menulis di luar angkasa !
Cerita kedua mengisahkan pabrik pembuatan sabun di Jepang. Sebuah pabrik pembuatan sabun suatu hari mendapatkan keluhan dari pelanggannya, karena sabun yang dia beli tidak ada isinya. Pelanggan tersebut dengan kata lain telah membeli kotak sabun yang tidak berisi sabun. Para direksi perusahaan mengganggap permasalahan tersebut sebagai hal yang sangat serius, sehingga mereka mengadakan rapat dengan semua pimpinan pabrik untuk menyelesaikan permasalahan. Rapat memutusakan bahwa perusahaan akan mengembangkan alat untuk mendeteksi kotak sabun yang masih kosong. Alat tersebut menggunakan sinar-X, dan bentuknya mirip dengan alat pendeteksi senjata tajam atau senjata api yang digunakan oleh petugas bandara. Perusahaan akhirnya berhasil membuat alat tersebut setelah menghabiskan dana yang sangat banyak. Apa yang dilakukan oleh karyawan perusahaan sabun yang lebih kecil untuk mengatasi permasalahan tersebut ? Perusahaan tersebut tidak memiliki dana untuk mengembangkan alat pendeteksi sinar-X yang berbiaya besar. Karyawan perusahaan tersebut kemudian membeli kipas angin berukuran besar yang diletakkan di dekat ban berjalan. Karyawan bagian pengecekan tinggal menghidupkan kipas tersebut, dan kotak sabun yang kosong dengan sendirinya akan jatuh tertiup angin.
Kedua cerita di atas merupakan ilustrasi cara-cara penyelesaian masalah yang efektif, sederhana, dan hemat. Cara-cara penyelesaian masalah tersebut muncul sebagai hasil dari kreatifitas yang ditunjukkan oleh astronot Rusia atau karyawan dari perusahaan sabun yang lebih kecil. Sternberg dan Lubart (1999) yang merangkum pendapat dari berbagai ahli mengemukakan bahwa kreatifitas merupakan kemampuan untuk bekerja dan menghasilkan sesuatu yang baru (orisinal, tidak terbayangkan sebelumnya) dan tepat (bermanfaat, memenuhi tujuan kerja yang diharapkan). Orang yang memiliki kreatifitas disebut sebagai orang yang kreatif.
II. Faktor-faktor yang Memprediksi Kreatifitas
Feist (dalam Sternberg, 1999) menyatakan bahwa keberbakatan (giftedness) yang diukur dengan menggunakan tes IQ ternyata bukanlah prediktor yang valid dari pencapaian kreatifitas seseorang. Berbagai pendapat ahli yang dirangkum oleh Smith (2006) menemukan bahwa kreatifitas tidak dapat diprediksikan atau ditingkatkan secara tunggal dengan memfokuskan pada proses-proses kognitif dan trait kepribadian yang dimiliki oleh seseorang. Hal ini menyebabkan para peneliti lebih memfokuskan perhatian pada faktor-faktor sosial dan lingkungan yang dapat meningkatkan atau menurunkan aktivitas-aktivitas kreatif.
Penelitian yang dilakukan oleh Horng dkk. (2005) menemukan bahwa faktor-faktor yang terbukti memprediksi pengajaran kreatif yang berhasil seorang guru adalah trait kepribadian, keluarga, pengalaman belajar dan pendidikan, keyakinan terhadap pendidikan, ketekunan dalam mendidik, motivasi, dan lingkungan organisasi. Keyakinan terhadap pendidikan, ketekunan dalam mendidik, dan motivasi merupakan tiga faktor terpenting bagi keberhasilan pendidikan yang kreatif dari seorang guru. Penelitian ini sekaligus juga menunjukkan bahwa kreatifitas merupakan sesuatu yang dapat diajarkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Chen dkk. (2005) juga menunjukkan bahwa kreatifitas merupakan suatu hal yang dapat diajarkan. Chen dkk. melakukan pengamatan longitudinal selama dua tahun terhadap para siswa yang mendapatkan kurikulum pendidikan untuk meningkatkan kemampuan para siswa dalam menyelesaikan permasalahan secara kreatif. Chen dkk. menggunakan subjek penelitian sebanyak 177 orang. Torrance Tests of Creative Thnking (TTCT) digunakan untuk mengukur perubahan kreatifitas para siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para siswa yang
menyelesaikan kurikulum pendidikan tersebut mengalami peningkatan kreatifitas secara signifikan.
III. Strategi Pengajaran Kreatif
Kreatifitas merupakan tuntutan pendidikan dan kehidupan pada saat ini. Kreatifitas akan menghasilkan berbagai inovasi dan perkembangan baru. Individu dan organisasi yang kreatif akan selalu dibutuhkan oleh lingkungannya, karena mereka mampu memenuhi kebutuhan lingkungannya yang terus berubah. Individu dan organisasi yang kreatif akan mampu bertahan dalam kompetisi global yang dinamis dan ketat.
Horng dkk. (2005) selanjutnya mengemukakan berbagai strategi pengajaran kreatif yang telah terbukti berhasil meningkatkan kreatifitas para siswa. Strategi-strategi tersebut sebaiknya diterapkan sebagai aktivitas yang terintegrasi.
Strategi pertama adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered learning). Guru menurut strategi ini berperan sebagai fasilitator yang menolong para siswa untuk melakukan refleksi diri, diskusi kelompok, bermain peran, melakukan presentasi secara dramatikal, dan berbagai aktifitas kelompok lainnya. Guru juga berperan sebagai teman belajar, inspirator, navigator, dan orang yang berbagi pengalaman. Para siswa diberi kebebasan untuk memilih perspektif yang akan mereka gunakan untuk mempelajari suatu topik. Berbagai metode tersebut akan membuat para siswa berubah dari pendengar pasif menjadi observer, mampu menunjukkan kemampuannya, dan co-learner. Guru hendaknya juga memberikan kesempatan kepada para siswa untuk memilih topik dalam berbagai tugas proyek individu atau kelompok. Melalui metode ini, kreatifitas ditimbulkan untuk mengeksplorasi berbagai ide yang dipandang menarik oleh para siswa. Collins dan Amabile (dalam Horng dkk., 2005) menyatakan bahwa motivasi intrinsik dan kreatifitas seorang siswa dapat ditingkatkan jika guru mmapu mendorong para siswa untuk mendiskusikan proses pembelajaran mereka yang secara intrinsik menyenangkan dan menggairahkan.
Strategi kedua adalah penggunaan berbagai peralatan bantu dalam pengajaran (multi-teaching aids assisstance). Guru-guru yang kreatif dan banyak akal menggunakan berbagai peralatan dalam mengajar, seperti penghancur kertas, kotak mainan, palu, naskah tulisan para siswa, power-point, komputer, dan peralatan multimedia untuk 3
menggairahkan para siswa dalam berfikir, memperluas sudut pandangnya, dan memicu diskusi yang lebih mendalam. Tan (dalam Horng dkk., 2005) mengemukakan bahwa video terbukti efektif untuk meningkatkan kreatifitas para siswa. Storm dan Storm (dalam Horng dkk., 2005) juga menyatakan bahwa pelajaran yang difasilitasi oleh penggunaan video akan menjadi lebih atraktif, menarik, dan lebih mudah diingat oleh para siswa. Mata pelajaran juga akan lebih atraktif dan menstimulasi pada saat menggunakan komputer, transparansi, slide show, dan berbagai peralatan multimedia lainnya. Selain itu, keahlian penggunaan komputer merupakan prasyarat bagi guru yang kreatif dan akses terhadap sumber-sumber pendidikan yang berlimpah di internet.
Strategi ketiga adalah strategi manajemen kelas (class management strategies). Strategi ini mencakup pembuatan iklim interaksi antara guru dan siswa yang bersahabat dan memperlakukan siswa dengan menghormati berbagai kebutuhan dan individualitasnya. Guru diharapkan mampu berbicara dengan nada dan bahasa tubuh yang ramah (gentle) kepada para siswanya. Guru diharapkan juga tidak menginterupsi atau menghakimi secara tergesa-gesa pada saat para siswa mengekspresikan ide-idenya. Guru diharapkan mampu memberikan bimbingan, pertanyaan terbuka yang lebih banyak, atau menyampaikan pengalaman pribadinya sebagai referensi. Humor yang digunakan guru di dalam kelas dapat menjadi jembatan penghubung antara guru dan siswa, serta menyediakan lingkungan belajar yang santai.
Berbagai penelitian yang dilakukan di seluruh dunia (dalam Horng dkk., 2005) menunjukkan bahwa lingkungan belajar merupakan kunci untuk pembelajaran yang kreatif. Keterampilan untuk membuat interaksi bersahabat dengan siswa merupakan kualitas yang penting dari seorang guru yang kreatif. Guru yang mengajari siswanya untuk kreatif seharusnya juga mempercayai bahwa siswanya memiliki kemampuan untuk mendisiplinkan diri sendiri, berfokus pada komunikasi dan semangat demokratis, serta menolong siswanya untuk mengembangkan berbagai kelebihan individualitasnya.
Petrowski (dalam Horng dkk., 2005) mengemukakan beberapa prinsip untuk membangun lingkungan pembelajaran yang kreatif. Prinsip-prinsip tersebut yaitu: (a) menyediakan kesempatan untuk memilih dan mengetahui berbagai kemungkinan yang ada, (b) mendukung berbagai usaha untuk berbuat atau menciptakan, dan (c) mengimplementasikan strategi manajemen kelas yang tepat.
Strategi keempat untuk meningkatkan kreatifitas para siswa adalah dengan menghubungkan isi pengajaran dengan konteks kehidupan nyata. Esquivel (dalam Horng dkk., 2005) mengemukakan bahwa para siswa menyukai pelajaran yang berhubungan dengan berbagai peristiwa kehidupan nyata. Guru yang mampu memberikan pelajaran sesuai dengan konteks nyata kehidupan berarti telah membagikan pengalamannya kepada para siswa. Hal ini akan menjadi pemicu bagi para siswa untuk memberikan respon, berdiskusi, dan berfikir dalam tingkat tinggi.
Proses pengajaran yang terintegrasi akan menolong para siswa untuk mengembangkan keterampilan dalam mengekspresikan dan merealisasikannya dalam kehidupan nyata sehari-hari, menemukan contoh dalam kehidupan nyata untuk membuktikan apa yang telah mereka pelajari, dan menghubungkan apa yang mereka pelajari dengan berbagai pengalaman kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan seharusnya memusatkan pada peningkatan keterampilan untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan dengan membebaskan kreatifitas para siswa.
Strategi kelima adalah menggunakan pertanyaan terbuka dan mendorong para siswa untuk berfikir kreatif (open questions and encouragement of creative thinking). Pertanyaan-pertanyaan terbuka akan menggerakkan para siswa untuk berfikir kreatif. Esquivel (dalam Horng dkk., 2005) bahkan menyatakan bahwa pertanyaan terbuka merupakan karakteristik dari guru yang kreatif. Guru yang kreatif juga selalu mendorong siswanya untuk membuat dan berimajinasi dalam diskusi kelompok. Berbagai hasil penelitian (dalam Horng dkk., 2005) menunjukkan bahwa para guru dapat memberikan pengaruh yang lebih positif dengan mendorong para siswa agar ”menjadi kreatif”.
IV. Evaluasi Pengajaran Kreatif
Berkaitan dengan pengajaran yang dilakukan oleh seorang guru atau dosen, kemampuan berfikir kreatif para siswa atau mahasiswa ternyata dapat dipergunakan sebagai kriteria evaluasi efektifitas seorang guru atau dosen. Davidovitch dan Milgram (2006) telah melakukan penelitian untuk mengidentifikasi prediktor efektifitas dari 58 orang dosen. Davidovitch dan Milgram menemukan bahwa terdapat korelasi r = 0.64 (p<0,01) antara efektifitas guru dengan kemampuan berfikir kreatif siswa, yang didefinisikan sebagai kemampuan siswa untuk menyelesaikan permasalahan nyata dalam
kehidupan. Hasil penelitian tersebut juga mengindikasikan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kemampuan berfikir kreatif siswa di dalam ruang kelas dengan kemampuan berfikir kreatif siswa di luar ruang kelas.
V. Penutup
Pendidikan yang saat ini dilaksanakan di Indonesia cenderung lebih mengutamakan pengembangan kemampuan kognitif. Pendidikan pada tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, maupun pendidikan tinggi masih menunjukkan kecenderungan di atas. Hal ini membuat para siswa seringkali mengalami kegagapan saat harus menyelesaikan masalah nyata, karena tidak semua masalah dapat diselesaikan secara efektif dengan menggunakan kemampuan kognitif saja. Kreatifitas seringkali menjadi syarat untuk menyelesaikan masalah secara efektif.
Csikszentmihalyi (dalam Sternberg, 1999) menyatakan bahwa komunitaslah yang membuat kreatifitas seseorang dapat muncul. Pendapat tersebut seharusnya membuat para guru menjadi lebih optimis dalam menerapkan strategi pengajaran kreatif dan mendesain lingkungan pembelajaran yang mendukung kreatifitas, sehingga kreatifitas para siswa menjadi meningkat.
Daftar Pustaka
Chen, Chi-Kuang; Jiang, Bernard C.; and Hsu, Kuang-Yiao. 2005. An Empirical Study of Industrial Engineering and Management Curriculum Reform in Fostering Students’s Creativity. European Journal of Engineering Education, vol. 30, no. 2, May 2005, 191-202.
Davidovitch, Nitza, & Milgram, Roberta M. 2006. Creative Thinking as a Predictor of Teacher Effectiveness in Higher Education. Creativity Research Journal, vol. 18, no. 3, 385-390.
Horng, Jeou-Shyan; Hong, Jon-Chao; ChanLin, Lih-Juan; Chang, Shih-Hui; and Chu, Hui-Chuan. 2005. Creative Teachers and Creative Teaching Strategies. International Journal of Consumer Studies, 29, 4, July 2005, 352-358.
Smith, Tori Haring. 2006. Creativity Research Review: Some Lessons for Higher Education. peerReview. Diakses dari ProQuest, 3 September 2007.
Sternberg, Robert J (ed). 1999. Handbook of Creativity. Edinburgh: Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar