Music


03 Maret 2009

INFLASI



BAB 1
PENDAHULUAN



A. Perkembangan Perekonomian Indonesia

Panggung ekonomi Indonesia rasanya tidak pernah sepi hiruk pikuk peristiwa dramatis. Sejak kemerdekaan, krisis ekonomi datang silih berganti bagai gemuruh riak gelombang, di samping tentu saja sesekali mengabarkan kegembiraan. Tahun 1945 – 1966 bisa dikatakan masa pancaroba perekonomian karena sebagian besar kegiatan domestik ditindih oleh krisis politik yang tidak pernah bosan hadir ditengah-tengah masyarakat. Puncaknya, tahun 1966 ekonomi ambruk, yang ditandai dengan inflasi nyaris tanpa batas (650%), pengangguran tak terbendung, dan kemiskinan kian menyeruak. Setelah itu, yang kemudian disebut masa Orde Baru, ekonomi mulai ditata sehingga sedikit demi sedikit menghasilkan capaian yang lumayan, misalnya investasi bergulir dan pengangguran dapat ditekan. Tapi, mendadak ekonomi terkoyak kembali setelah Peristiwa Malari meletus tahun 1974, yang dipicu oleh sentimen investasi asing (khususnya dari Jepang). Kemudian kondisi stabil kembali sesudahnya, hingga tahun 1981 – 1982 situasi ekonomi mengalami chaos yang cukup dalam akibat krisis minyak, dimana harga minyak anjlok menjadi 9 dolar AS/barel. Padahal, 70 - 80% penerimaan negara saat itu tergantung dari minyak.
Sejak itu, perlahan-lahan pemerintah mulai menggeser beban kegiatan ekonomi ke sektor swasta akibat keterbatasan negara untuk memikul seluruh tanggung jawab ekonomi, pemerintah mulai memberikan insentif sektor swasta untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi, salah satunya lewat deregulasi perbankan yang dikeluarkan sejak tahun 1983 (Pakjun 1983) dan berpuncaknya pada Pakto 1988. kebijakan ini bersemangat memberikan keleluasaan kepada bank domestik maupun asing untuk beroperasi dan membuka cabang di Indonesia, disamping aturan pelonggaran pemberian kredit. Pendeknya, deregulasi (sebetulnya lebih tepat disebut liberalisasi) sektor keuangan / perbankan itu berperan menjadi mesin pelumas agar sektor riil bergerak melayani sektor swasta. Langkah pemerintah ini ternyata tidak bertepuk sebelah tangan, karena segera setelahnya ekonomi tumbuh dengan sangat cepat sehingga rata-rata setiap tahun perekonomian tumbuh sekitar 7%. Singkat cerita, bersama dengan negara-negara Asia lainnya, semacam Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Thailand, Hongkong, Taiwan, dan Cina. Indonesia oleh Bank Dunia dianggap sebagai negara yang pertumbuhannya ajaib.
Rupanya, pertumbuhan ekonomi ajaib itu hanya maya. Analis-analis ekonomi internasional (seperti Paul Krugman) menyebut karakteristik pertumbuhan ekonomi Indonesia mirip buih (bubble economy) yang gampang runtuh akibat gangguan-gangguan sporadis, baik datang dari eksternal maupun internal. Secara umum, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut disokong oleh beberapa praktik negatif berikut :
Pertama : Deregulasi perbankan tidak dibarengi dengan instrumen pengawasan dan penegakan regulasi (law enforcement). Akibatnya, banyak perbankan beroperasi secara tidak hati-hati (inprudent), seperti pelanggaran legal lending limit (LLL).
Kedua : Dunia bisnis Indonesia tumbuh karena proteksi yang berlebihan dari pemerintah, baik dalam bentuk fasilitas monopoli, kartel, konsesi, tata niaga, dan lain-lain. Implikasinya, daya saingnya sangat rapuh sehingga ketika dihadapkan dengan kompetisi terbuka (dalam pasar internsional) korporasi tersebut langsung ambruk.
Ketiga : Tanpa disadari pula, dunia koporasi Indonesia sangat tergantung dari bahan baku impor serta struktur keuangan yang lebih besar utang ketimbang asetnya (khususnya dari utang luar negeri). Hasilnya begitu utang jatuh tempo perusahaan terhuyung-huyung karena tidak dapat membayarnya.
Seluruh situasi tersebut kemudian bersua dengan jebolnya tanggul mata uang rupiah yang dimainkan oleh spekulan di pasar valuta asing (Valas). Begitu mata uang rupiah mabruk, sektor swasta maupun pemerintah betul-betul tidak berdaya sehingga semua borok satu persatu bermunculan. Peristiwa 1997 tersebut seperti datang tiba-tiba, mirip Tsunami, sehingga membuat sebagian besar pelaku ekonomi tersapu dalam arus krisis. Segera saja, persoalan yang dipicu dari krisis moneter berubah menjadi krisis ekonomi / politik yang sungguh tidak gampang untuk diredakan. Jika pada periode-periode sebelumnya setiap guncangan ekonomi relatif mudah untuk dipulihkan, maka krisis tahun 1997 memerlukan waktu yang cukup panjang untuk merekonstruksinya. Sekian banyak alternatif pemecahan ekonomi politik sudah disusun, misalnya desentralisasi ekonomi, perbaikan iklim usaha, tata kelola pemerintahan, independensi Bank Sentral, dan efiseinsi BUMN, namun hasilnya tetap kurang menggembirakan hingga kini. Bahkan, setelah 10 tahun pasca krisis ekonomi kondisi tetap belum banyak berubah. Misalnya, angka kemiskinan kembali seperti masa Orde Baru, baru di mana menurut Bank Dunia sekitar 49% penduduk Indonesia tergolong miskin (dengan patokan pendapatan kurang dari 2 dolar AS/hari)


B. Perumusan Masalah

Persoalan-persoalan itu masih bisa diperpanjang dengan fakta kian memburuknya jumlah pengangguran (tercatat sampai tahun 2006 pengangguran terbuka dan setengah pengangguran mencapai 40 juta jiwa), sektor pertanian yang semakin tidak terawat, dan ludesnya kekayaan sumber daya alam (SDA) akibat proses eksploitasi yang tidak terukur. Jadi, tampak figur krisis ekonomi kali ini jauh lebih dahsyat dan dramatis dibandingkan dengan krisis-krisis (ekonomi) sebelumnya, sehingga penanganannya juga menjadi rumit. Latar belakang inilah penulis tertarik untuk menggeluti kembali kondisi muktahir perekonomian Indonesia. Setelah satu dasawarsa lalu dihantam badai krisis ekonomi. Tentu saja semua postur ekonomi menjadi lebih buruk dari pada 10 tahun lalu. Beberapa aspek dengan cukup benderang menunjukkan kemajuan yang berarti, misalnya stabilitas inflasi (walaupun sempat diinterupsi pada tahun 2005), fluktuasi kurs rupiah relatif aman, cadangan devisa yang cenderung membesar.
”Seberapa amankah inflasi Indonesia pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2008, apalagi dihadapkan pada kondisi saat ini terjadi krisis keuangan di Negara Amerika Serikat, dan bagaimana mengantisipasinya agar perekonomian Indonesia khususnya fluktuasi inflasi tidak semakin meningkat ?”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar