BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian Krisis Ekonomi
Krisis moneter yang terjadi sejak Juli tahun 1997 telah membawa akibat serius terhadap sendi-sendi perekonomian nasional. Pendapatan masyarakat menurun drastis, harga barang dan jasa naik tajam sehingga mencapai tingkat yang sebagian besar masyarakat sulit menjangkaunya. Bahkan menurut para ahli, jika krisis ekonomi dibiarkan, akan terjadi proses pembodohan bangsa secara massal. Pasalnya akibat krisis ekonomi, banyak masyarakat yang tidak bisa menjangkau harga layanan pendidikan.
Media massa sering menggunakan jorgon-jorgon atau terminologi yang pada umumnya hanya dipahami maknanya oleh kelompok ilmuwan atau profesional tertentu. Kita kenal beberapa jorgon misalnya untuk bidang ekonomi seperti opportinity costs, economic of sales dan kata yang merupakan jorgon gabungan dari ilmu sosiologi dan ilmu ekonomi.
Telah menjadi kebiasaan diantara warga masyarakat membicarakan suatu topik atau isu yang sedang hangat dipermasalahkan masing-masing pembicara telah memahami apa arti dan maksud serta isi kandungan topik yang dibicarakan. Padahal sangat mungkin persepsi dan pandangan mereka berbeda baik tentang arti, maksud atau isi kandungan. Dan tidak jarang diakhiri dengan polemik. Oleh karena itu ada baiknya kita definisikan apa yang dimaksud krisis moneter.
Terminologi atau jorgon ilmu psikologi, seperti : tension (ketegangan), panic dan disaster (malapetaka) atau cathastrophic (bencana) yang merupakan bagian-bagian dan konsep teori sosial itu semuanaya telah bisa kita saksikan dalam wujud empiriknya sebagaimana yang telah dialami bangsa Indonesia.
Menurut Kwik Kian Gie, (1998:9) mengemukakan bahwa : “Krisis adalah the upper turning point dalam kurva gelombang pasang surut ekonomi atau konjungtor atau business cycle. Maka dengan sendirinya diikuti oleh resesi, kalau resesinya lambat terbuka terhadap pengimporan inflasi sehingga terjadi stagplasi.
Kata krisis itu sendiri bagi sebagian warga masyarakat mengandung arti suatu kondisi krisis yang mengancam sebagian perikehidupan bangsa tergantung bidang atau sektor apa yang sedang mengalami krisis. Setelah melihat pengertian krisis menurut para ahli dan wara masyarakat, penulis dapat menyimpulkan bahwa krisis ekonomi adalah malapetaka atau suatu bencana yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa sehingga masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya atau terpuruk kehidupannya. Seperti dekemukakan oleh Bambang Suwarno, (1999:43) bahwa : “Dalam waktu yang amat singkat jumlah penduduk miskin meningkat dari 20 juta menjadi 90 juta”.
Indikator untuk melihat naik turunnya krisis ekonomi dikemukakan oleh Ace Partadireja, (1990:89) bahwa :
Indikator naik turunya konjungtor ekonomi adalah produk nasional, produk industri, pengangguran, harga barang konsumsi, dan produksi, persediaan barang jadi, setengah jadi dan bahan mentah, jumlah investasi, tingkat konsumsi dan penerimaan pemerintah dari jumlah pajak tertentu yang mencerminkan keuntungan perusahaan-perusahaan.
Namun ternyata bahwa kenaikan kegiatan perekonomian ini tidak terus menerus melainkan akan sampai kepada puncaknya untuk kemudian mulai menurun, penjualan barang-barang dan jasa mulai menurun dan terus meluas dengan dahsyatnya.
Sedangkan menurut Kwik Kian Gie, (1999:3) mengemukakan ada dua karakteristik krisis yaitu :
a. Krisis yang tidak sepandan antara kenaikan konsumsi ketimbang kenaikan kapasitas produksi sehingga terjadi kelebihan kapasistas produksi, krisis ini dinamakan underconsumtion crisis.
b. Krisis yang disebabkan oleh terlampau besarnya investasi yang dipicu modal asing karena tabungan nasional sudah lebih dari habis untuk berinvestasi dimana kemunigkinan untuk memperoleh modal asing pada suatu ketika akan tersendat. Kalau ini yang terjadi maka investasi akan menurun yang mengakibatkan krisis dinamakan Overeinvestment crisis.
Sejak awal sudah dikenali, bahwa faktor penentu buat pengurangan keparahan krisis ekonomi kita adalah nilai rupiah yang harus stabil pada tingkat yang wajar, maka para ahli melakukan perhitungan nilai rupiah yang realistik dan wajar, sebenarnya berapa, setelah nilai mata uang dari negara-negara sekitarnya mengalami penurunan. Ketika nilai rupaiah berfluktuasi dengan kecenderungan merosot terus, juga sudah dikenali bahwa kalau kurs dollar stabil pada Rp. 10.000/dollar, sebagian besar pabrik akan tutup. Inflasi meroket, yang juga ini berarti kemampuan daya beli masyarakat menurun akan menimbulkan berbagai macam permasalahan kehidupan.
B. Cold Turkey vs Gradualism
Secara teoritis, ada dua hal fundamental sebagai langkah represif, yang dalam hal ini adalah strategi untuk mencapai disinflasi (penurunan inflasi).
Pertama : Preskripsi kelompok ekonom Klasik yang disebut dengan cold turkey, strategi ini pada intinya adalah ; melakukan pengurangan jumlah uang beredar secara drastis atau cepat. Dalam pandangan kaum Klasik tingkat harga, upah dan ekspektasi masyarakat (yang biasanya menjadi barometer dan penentu tingkat harga), akan segera menyesuaikan diri apabila ditempuh tindakan drastis pengurangan uang beredar.
Kedua : Strategi yang dianut oleh kelompok Keynesian, yang disebut dengan gradualism. Para ekonom Keynesian tidak percaya bahwa strategi Klasik tidak membawa sejumlah dampak negatif tertentu, misalnya dalam hal ketenaga kerjaan seperti disinggung dalam analisis kurva Philips jangka pendek. Oleh karena itu kemudian diyakini, bahwa strategi gradualism, yaitu pengurangan peredaran uang secara bertahap dalam jangka beberapa tahun, dapat meminimalkan dampak negatif.
Pertanyaannya sekarang, mana strategi yang cocok untuk kita anut ? Cara Klasik cold turkey, sebenarnya praktis pernah dua kali kita lakukan dalam ”gebrakan Sumarlin”. Sementara itu, meski tidak persis benar, strategi gradualism juga pernah diimplementasikan pada masa uang ketat. Hanya sayangnya, uang ketat yang berhasil memangkas inflasi tahun 1992 tersebut, tidak dapat dipertahankan pada periode berikutnya. Masalahnya, di sisi lain kita juga berkepentingan untuk melonggarkan peredaran uang, agar dapat mendorong investasi di sektor riil. Barangkali yang patut dipertanyakan dalam kasus ini adalah, mengapa pelonggaran uang tersebut bisa sedemikian besar, sehingga uang beredar meningkat sampai 20% dalam periode hanya 2 bulan ? Di sinilah agaknya, kunci persoalan itu terletak.
Dalam menghadapi alternatif antara pola Klasik atau Keynesian di atas, barangkali kita memang tidak bisa begitu saja menjatuhkan salah satu pilihan. Masing-masing pola memiliki kelebihan dan kelemahannya, dan yang lebih menentukan dalam memilih adalah konteks perekonomian yang dihadapi. Pada saat krisis tertentu, maka yang mendesak dibutuhkan kebijakan yang bersifat instan, sekalipun itu membawa konsekuensi pengorbanan tertentu. Maka di sinilah strategi cold turkey dapat dimainkan. Di saat yang lain, selagi kondisi perekonomian secara umum relatif stabil namun menghendaki perbaikan struktur moneter, maka strategi gradualism dapat memainkan perannya.
Namun di samping kedua strategi di atas, adalah menarik untuk disimak pendapat lain yang menekankan, bahwa yang paling penting sebenarnya adalah soal kredibilitas pemerintah untuk menangani disinflasi (Andrew B. Abel dari Wharton School of the University, 1992). Kredibilitas ini memang bisa berdimensi luas, termasuk di dalamnya bagaimana upaya pemerintah menyiasati defisit anggarannya.
Dalam kasus Indonesia, faktor kredibilitas ini jelas akan menjadi agenda utama bagi para penguasa moneter kita. Stabilitas sektor moneter, terutama dalam hal pemilihan kebijakan-kebijakan secara tepat, sehingga kasus-kasus crash bisa dihindari, adalah titik awal yang diperlukan untuk menggalang kredibilitas tinggi. Kalau modal ini sudah dipunyai, maka upaya-upaya untuk memangkas inflasi, apakah itu dengan cara ala Klasik, Keynesian ataukah kombinasi keduanya, sudah mendapatkan landasannya solid.
C. Kebijakan Fiskal, Moneter, dan Kinerja Perbankan.
Kebijakan fiskal dan moneter merupakan dua instrumen utama penggerak kegiatan ekonomi yang bisa dikendalikan oleh pemerintah. Khusus untuk kebijakan moneter, wilayah intervensi pemerintah sebagian tergantung dari posisi Bank Sentral. Jika Bank Sentral di suatu negara berada di bawah kendali pemerintah, maka kebijakan moneter sepenuhnya dapat dikontrol oleh pemerintah. Namun, apabila Bank Sentral tersebut independen (seperti di Indonesia), maka pemerintah tidak sepenuhnya bisa mengendalikan. Sedangkan kebijakan fiskal sepenuhnya di bawah otoritas pemerintah. Sejarah ekonomi dihampir semua negara menunjukkan bahwa persoalan terberat dalam memanfaatkan kedua instrumen itu tidak lain adalah mengharmonisasikan di antara kebijakan fiskal dan moneter tersebut. Masalahnya, dalam banyak hal kedua instrumen itu bisa saling menegasi. Misalnya, kebijakan fiskal yang ekspansif (untuk memacu pertumbuhan ekonomi) cenderung memicu inflasi pada sisi moneternya (padahal inflasi justru akan mengerem laju pertumbuhan ekonomi). Jadi, mengawinkan kebijakan fiskal dan moneter merupakan tugas terpenting yang harus dijalankan pemerintah.
Tak lama setelah krisis moneter menghantam perekonomian Indonesia, terdapat perubahan yang mendasar dalam perumusan kebijakan moneter di Indonesia. Jika sebelum krisis kebijakan moneter di Indonesia diarahkan untuk merealisasikan beberapa tujuan, seperti pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, stabilitas harga dan tujuan-tujuan pembangunan yang lebih luas, maka kebijakan moneter saat ini hanya memiliki satu tujuan, yaitu menjaga dan mewujudkan tingkat inflasi yang rendah. Atau juga sering disebut sebagai kebijakan moneter dengan sasaran tunggal (inflasi) (Ismail, 2003 : 1). Dalam bentuknya yang paling eksplisit,sasaran tunggal tersebut diumumkan sebagai target inflasi yang harus dicapai oleh kebijakan moneter. Dalam terminologi ekonomi moneter, kerangka kerja kebijakan yang mendasar kepada pencapaian suatu target inflasi yang diumumkan kepada publik secara eksplisit disebut sebagai inflation targeting framework. Dalam hal ini, target inflasi dapat dipandang sebagai suatu anchor kebijakan yang akan menentukan respon kebijakan yang akan diambil suatu bank sentral. Negara-negara maju yang menerapkan kebijakan ini diantaranya adalah Selandia Baru, Kanada, Inggris, Swedia, Filandia, Australia, dan Spanyol (Mason, et. al, 1998 :34-37 ; dikutip dari Zakaria, 2006 : 204).
Secara umum tujuan atau sasaran kebijakan moneter tidak jauh berbeda dengan kebijakan makro ekonomi lainnya. (Miskin, 2001: 454-457 ; dalam Insukindro, 2003 : 2-3) menyebutkan bahwa sasaran kebijakan moneter adalah tersedianya kesempatan kerja yang tinggi, pertumbuhan ekonomi, kestabilan harga, kestabilan suku bunga, kestabilan pasar uang, dan kestabilan pasar valuta asing. Ketiga sasaran yang pertama dari keseimbangan neraca pembayaran sering disebut sebagai sasaran kahir dan untuk sasaran itu diharapkan dapat dicapai secara bersamaan, tetapi sering kali pencapaiannya mengandung unsur-unsur yang kontradiktif atau tumpang tindih, sehingga semakin disadari perlunya kebijakan moneter dengan sasaran tunggal. Salah satu sasaran tunggal yang saat ini menjadi mode kebijakan moneter adalah penargetan inflasi yang sudah jamak digunakan dengan hasil yang cukup memuaskan sehingga pemerintah Indonesia pun (lewat Bank Indonesia) juga berupaya melakukan kebijakan serupa.
Berkaitan dengan stabilitas harga atau laju inflasi, misalnya Dow dan Saville (1990; dalam Insukindro, 2003 : 2-3) menyebutkan adanya dua tipe kebijakan moneter, yaitu pengelolaan permintaan (demand management) dan target atau sasaran moneter (moneetary targetry). Tipe kebijakan pertama dimaksudkan untuk mengendalikan laju inflasi dengan cara mengelola permintaan agregat pada arah yang tidak mendorong inflasi (non-inflationary level), sedangkan tipe kebijakan kedua dilakukan dengan cara mengendalikan laju pertumbuhan uang beredar atau komponen-komponennya. Sedangkan di Indonesia, tipe kebijakan moneter tersebut semuanya ditempuh dengan jalan yang beragam. Kasus yang terjadi akhir-akhir ini, bank sentral berupaya untuk mempertahankan tingkat suku bunga pada level yang cukup tinggi untuk menahan inflasi, walaupun konsekuensinya adalah penurunan investasi yang cukup besar.
Kebijakan penargetan inflasi ini dalam banyak segi mempunyai keunggulan-keunggulan sasaran yang lain, misalnya jumlah uang beredar, karena kebijakan ini dipusatkan pada fenomena domestik, penentuan sasaran lebih jelas dan sederhana, tidak tergantung pada hubungan antara uang dan inflasi, meningkatkan akuntabilitas Bank Sentral, dan mengurangi efek kejutan yang bersifat inflasioner. Bila hal ini digabungkan dengan kebijakan penanganan yang bersasaran kepada kurs mata uang, maka kelebihannya menjadi lebih banyak lagi, seperti dapat secara langsung mengendalikan inflasi yang disebabkan oleh barang-barang yang diperdagangkan secara internasional dan berperan secara otomatis dalam pengelolaan kebijakan atau sasaran moneter (Tabel 1).
Tabel 1
Keunggulan Sasaran Moneter Kuantitas, Sasaran Inflasi dan Kurs.
Sasaran Kuantitas Sasaran Inflasi Sasaran Kurs
1. Kebijakan moneter yang independen
2. Dapat dipusatkan pada fenomena domestik
3. Ada signal dari sasaran antara dalam pencapaian sasaran yang telah ditetapkan 1. Kebijakan moneter yang independen
2. Dapat dipusatkan pada fenomena domestik
3. Penentuan sasaran jelas dan sederhana.
4. Tidak tergantung pada kestabilan hubungan antara uang dan inflasi.
5.Meningkatkan akuntabilitas bank sentral.
6. Dapat nebgurangi efek kejutan yang bersifat inflasioner 1. Dapat secara langsung mengendalikan inflasi yang disebabkan oleh barang-barang yang diperdagangkan secara intersional.
2. Berperan secara otomatis dalam pengelolaan kebijakan atau sasaran moneter.
3. Penentuan sasaran jelas dan sederhana.
Sumber Insukindro, 2003 : 4
Sungguhpun begitu, kebijakan yang berfokus kepada target inflasi bukanlah tanpa kelemahan. Secara eksplisit kelemahan itu dapat dibaca dari dua hal berikut (Tabel 2). Pertama, kelambanan signal atau indikasi tentang pencapaian sasaran. Seperti diketahui, kebijakan yang berfokus kepada inflasi memerlukan waktu (time lag) untuk sampai kepada sasaran. Masalahnya, tenggat waktu itu tidak dapat ditentukan secara eksak, sehingga sulit untuk mendeteksi secara dini mengenai efektivitas kebijakan yang dikeluarkan. Hal ini sangat berbeda dengan kebijakan pengelolaan jumlah uang beredar yang efeknya lebih awal. Kedua, dapat menyebabkan terjadinya fluktuasi keluaran (output) jika sasaran hanya terfokus pada inflasi. Prolem ini cukup serius mengingat implikasinya terhadap kinerja sektor riil, dimana demi menahan inflasi kerap kali bank sentral harus mengorbankan sektor riil. Di Indonesia, akibat fokus untuk menurunkan inflasi menyebabkan Bank Indonesia meningkatkan suku bunga sehingga sektor riil menjadi kelimpungan. Implikasinya, investasi merosot dan output yang dihasilkan juga turut surut.
Tabel 2
Kelemahan Sasaran Moneter Kuantitas, Sasaran Inflasi, dan Kurs.
Sasaran Kuantitas Sasaran Inflasi Sasaran Kurs
1. Tergantung pada definisi atau konsep uang yang digunakan.
2. Tergantung pada stabilitas hubungan antara uang dan inflasi dan atau permintaan uang 1. Kelambanan signal atau indikasi tentang pencapaian sasaran.
2. Dapat menyebabkan terjadinya fluktuasi keluaran (output), jika sasaran hanya terfokus pada inflasi 1. Kebijakan moneter yang tidak independen.
2. Terbuka untuk motif-motif spekulasi.
3. Keterlambatan dan kemungkinan kehilangan signal atau indikasi perilaku kurs.
Sumber Insukindro, 2003 : 4
Dari deskripsi tersebut disimpulkan bahwa secara teoritis menempatkan inflasi sebagai anchor kebijakan moneter memberikan manfaat diantaranya : 1. mudah dipahami oleh masyarakat, karena masyarakat hanya melihat ukuran keberhasilannya pada pencapaian laju inflasi. 2. dapat menciptakan ekspektasi yang rendah terhadap inflasi sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan tingkat inflasi sesuai yang diinginkan. 3. dapat dihindari kemungkinan munculnya kebijakan yang dapat menimbulkan deviasi terhadap pencapaian target inflasi (discretionary policy) (Sabirin, 2002 : 4-5). Namun yang perlu digaris-bawahi adalah, meskipun hanya satu tujuan implementasi kebijakan inflation targeting tidak semudah yang dibayangkan. Diantara penyebabnya adalah banyaknya faktor-faktor ekonomi, yang sangat sulit dikendalikan oleh Bank Sentral sebagai institusi yang bertanggung jawab atas implementasi kebijakan moneter (Ismail, 2003 : 1 ; dikutip dari Zakaria, 2006 ; 205).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar