Music


03 Maret 2009

Perkembangan MONETER



BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Masalah
Pada tahun 2007 kebijakan moneter menghadapi tantangan dari kuatnya dampak gejolak perekonomian global dan ekses likuiditas di pasar uang domestik. Bank Indonesia menurunkan BI Rate untuk kemudian dipertahankan tetap sampai mendekati akhir tahun. Kebijakan tersebut diterjemahkan ke dalam operasional kebijakan moneter melalui pengelolaan likuiditas dalam bentuk operasi pasar terbuka dan berbagai instrument lain. BI Rate telah ditransmisikan secara efektif di pasar financial dan telah menimbulkan optimisme pelaku ekonomi di sektor riil. Kondisi tersebut didukung oleh memadainya likuiditas di perekonomian meskipun di pasar uang masih mengalami peningkatan ekses likuiditas. Secara keseluruhan, kebijakan moneter yang didukung oleh kebijakan fiskal telah mampu menjaga keseimbangan antara upaya untuk mencapai sasaran inflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan moneter dengan menerapkan target inflasi yang diambil oleh pemerintah mencerminkan arah ke sistem pasar. Artinya, orientasi pemerintah dalam mengelola perekonomian telah bergeser ke arah makin kecilnya peran pemerintah. Tujuan pembangunan bukan lagi semata-mata pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi lebih kepada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Penerapan kebijakan moneter dengan menggunakan target inflasi (inflation targeting) ini diharapkan dapat menciptakan fundamental ekonomi makro yang kuat.
Di sisi moneter, stabilitas ekonomi mengalami tekanan yang cukup berat, tercermin dari melemahnya nilai tukar dan tingginya laju inflasi. Adapun beberapa faktor eksternal yang mempengaruhinya antara lain adalah naiknya tingkat suku bunga luar negeri (Fed Fund) dan harga minyak dunia. Sementara itu pengaruh faktor domestik yang dominan antara lain tingginya ekspektasi masyarakat terhadap laju inflasi yang tinggi sebagai dampak dari kenaikan beberapa komponen adminstered prices, serta meningkatnya kebutuhan valas di dalam negeri. Dengan perkembangan tersebut, maka kebijakan moneter diarahkan ketat (tight bias) melalui instrumen suku bunga dengan tetap menjaga potensi pertumbuhan ekonomi yang ada.
Tekanan inflasi di Indonesia pada triwulan III-2008 masih tinggi. Hal ini terutama berasal dari tingginya ekspektasi inflasi masyarakat, kuatnya permintaan domestik, serta dampak imported inflation terkait dengan potensi pelemahan nilai tukar rupiah sebagai akibat dari krisis keuangan di AS. Menyikapi perkembangan tersebut, pada dataran kebijakan, Dewan Gubernur Bank Indonesia memandang perlu untuk mengendalikan tekanan inflasi guna mencapai sasaran inflasi dalam jangka menengah dan menjaga kestabilan ekonomi pada umumnya.
Triwulan III-2008 diwarnai oleh problematika yang terjadi di pasar keuangan global serta dampaknya pada perekonomian Indonesia. Perlambatan ekonomi dunia, saat ini telah dirasakan di beberapa negara industri maju, dan mulai merambat pada negara emerging markets termasuk Indonesia. Gejolak yang terjadi di pasar global, tidak dapat dihindari terasa mengalir dan menyebar pada ekonomi Indonesia. Terlepas dari masih kuatnya fundamental ekonomi Indonesia, sentimen negatif yang ditimbulkan dari krisis telah mendorong pelarian modal asing keluar. Hal ini memberi tekanan pada bursa saham dan nilai tukar Rupiah. Indeks harga saham mencatat penurunan tajam dan nilai tukar rupiah melemah. Kedua hal tersebut berujung pada sebuah gambaran pesimis tentang prospek perekonomian domestik. Menyikapi hal tersebut, Bank Indonesia dan Pemerintah terus menerus melakukan koordinasi kebijakan serta senantiasa memonitor perkembangan perekonomian dari waktu ke waktu.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.2.1. Bagaimana pelaksanaan kebijakan moneter?
1.2.2. Bagaimana respons pasar keuangan dan pelaku ekonomi terhadap BI Rate?
1.2.3. Bagaimana perkembangan likuiditas?

1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembahasan masalah ini adalah sebagai berikut :
1.3.1. Untuk memenuhi tugas dari matakuliah Masalah dan Kebijakan Pembangunan yang dibimbing oleh bapak Dr. Eeng Achman, M.Si.
1.3.2. Untuk turut menyumbangkan buah pikiran secara tertulis, khususnya mengenai Perkembangan Moneter.

1.4. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Berisikan Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II PEMBAHASAN
Membahas tentang Pelaksanaan Kebijakan Moneter, Respons Pasar Keuangan dan Pelaku Ekonomi Terhadap BI Rate, dan Perkembangan Likuiditas
BAB III KESIMPULAN



BAB II
PEMBAHASAN


2.1. Pelaksanaan Kebijakan Moneter
Pada tahun 70-an lahirlah “Aliran Monetaris”, yang mengutamakan kebijaksanaan moneter dalam mengatasi kemelut ekonomi waktu itu. Istilah ini pertama kali digunkaan oleh Karl Brunner untuk menggambarkan berbagai studi di bidang ekonomi moneter dan kebijaksanaan moneter. Sebagaimana yang dikutip Soedradjad Djiwandono (1987) dari Karl Brunner dalam artikelnya “The Role of Money and Monetary Policy” (1969), pada prinsipnya kelompok monetaris mengajukan proposisi (Deliarnov, 2007:195). Proposisi itu adalah perkembangan (kejutan) moneter merupakan unsur yang penting dalam perkembangan produksi, kesempatan kerja, dan harga-harga; bahwa pertumbuhan jumlah uang beredar merupakan unsur yang paling dapat diandalkan dalam perkembangan moneter; dan bahwa perilaku otoritas moneter menentukan pertumbuhan jumlah uang beredar dalam gelombang konjunktur.
Penekanan pokok pandangan monetaris terletak pada stok uang. Sebagaimana dijelaskan Friedman dalam tulisannya “A Theorical Framework for Monetary Analysis” (1970). Perubahan dalam jumlah uang beredar sangat besar pengaruhnya terhadap : (1) tingkat inflasi dalam jangka panjang dan (2) perilaku GNP riil dalam jangka panjang (Deliarnov, 2007:196)
Kebijakan Moneter adalah kebijakan pemerintah dalam mengatur jumlah uang yang beredar dalam masyarakat atau menjaga keseimbangan moneter dan kestabilan nilai uang, mendorong kelancaran produksi dan pembangunan, serta memperluas kesempatan kerja dalam rangka meningkatkan kemakmuran bagi rakyat (Sumadji, 2006:473).
Kebijaksanaan Moneter yaitu kebijaksanaan pemerintah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian dengan cara mempengaruhi penawaran uang dalam masyarakat atau dengan cara mempengaruhi tingkat bunga (Suryana, 2000:111).
Ada beberapa jenis kebijaksanaan moneter (Suryana, 2000:111-113), yaitu :
a) Merubah Cadangan Minimum Bank-bank Komersial (Reserve Ratio Policy)
Kekurangan persedian uang akan menghambat pertumbuhan ekonomi, sedangkan kelebihan akan uang mengakibatkan inflasi. Oleh karena itu bank sentral harus mengatur cadangan bank-bank komersial sedemikian rupa sehingga tingkat harga tercegah dari kenaikan dan tanpa berpengaruh buruk pada investasi dan produksi.
b) Merubah Tingkat Bunga (Politik Diskonto)
Politik Diskonto yaitu kebijaksanaan bank sentral untuk mempengaruhi tingkat bunga. Suku bunga yang tinggi akan merupakan hambatan bagi pertumbuhan investasi swasta maupun publik. Sebaliknya suku bunga rendah merupakan syarat penting untuk mendorong investasi swasta di bidang pertanian dan industri, terutama bagi pengusaha dan industri kecil.
c) Selective Credit Control
Tujuan utamanya adalah untuk mengendalikan tekanan inflasioner yang timbul di dalam proses pembangunan. Di negara-negara berkembang ada suatu kecendrungan kuat untuk menanam modal pada sektor non-produktif dari pada sektor produktif. Pengendalian kredit secara selektif adalah lebih tepat karena dapat mengendalikan “inflasi seksional”, serta mengurangi permintaan impor. Disamping itu penggunaan rasio cadangan variabel sebagai metoda pengendali kredit adalah lebih efektif dari pada umumnya cadangan kas yang lebih besar. Bank sentral dapat mengecek perluasan ini dengan cara menaikkan rasio cadangan wajib.
d) Open Market Operation
Di negara-negara berkembang operasi pasar terbuka tidak begitu banyak berhasil mengendalikan inflasi. Sukses operasi pasar terbuka tergantung pada: (1) Keberadaan pasar efek yang terorganisir baik; (2) Pemeliharaan rasio cadangan kas tetap oleh bank-bank komersial; (3) Ketiadaan fasilitas rediskonto dari bank sentral. Pada negara-negara berkembang open market operation tidak bekerja selektif, karena pasar efek amat kecil dan tidak berkembang. Hal ini disebabkan tingkat suku bunga obligasi pemerintah relatif rendah, dan mereka lebih suka menyimpan cadangan dalam bentuk likuid seperti emas, valuta asing dan uang kontan.

Teori-teori moneter yang memberikan kontribusi bagi pematangan konsep ini meliputi teori klasik hingga teori modern, antara lain:
 Teori Klasik >< Teori Keynes
Menurut teori Klasik, kebijakan moneter tidak berpengaruh terhadap sektor riil. Sedangkan menurut teori Keynes, sektor moneter dan sektor riil saling terkait melalui suku bunga. Berdasarkan perkembangan teori dan pengalaman empirik, disimpulkan bahwa dalam jangka panjang teori yang sesuai untuk dipergunakan adalah teori Klasik, sedangkan dalam jangka pendek teori Keynes lebih tepat. Kebijakan moneter hanya mempunyai dampak permanen pada tingkat harga umum (inflasi). Dengan kata lain bahwa pembenahan sektor ekonomi dapat dilakukan dengan cara pengendalian inflasi.

 Teori Klasik Modern >< Teori Keynes
Salah satu penganut teori klasik modern, Milton Friedman, mengemukakan bahwa kebijakan rule lebih baik dibanding discretion. Pendapat tersebut bertolak belakang dengan teori Keynes. Kemudian, untuk menentukan pilihan atas rule vs discretion, target inflasi menawarkan suatu framework yang mengkombinasikan keduanya secara sistematis, yang disebut dengan constrained discretion. Karena pada dasarnya, dalam praktik kebijakan moneter tidak ada yang murni rules ataupun murni discretion.

 Teori Kuantitas >< Teori Keynes
Teori Keynes mempergunakan tingkat bunga sebagai sasaran antara, sedangkan dalam teori kuantitas digunakan jumlah uang beredar. Penggunaan sasaran antara, baik berupa tingkat bunga maupun kuantitas uang, akan menyebabkan pembatasan diri terhadap informasi. Guna menghindarkan polemik ini, kebijakan target inflasi menentukan inflasi sebagai sasaran akhir. Dengan demikian target inflasi menggunakan mekanisme transmisi yang relevan, tidak harus tingkat bunga ataupun kuantitas uang. Dengan mengambil inflasi sebagai sasaran akhir, otoritas moneter dapat lebih bebas dan lebih fleksibel dalam menggunakan semua data dan informasi yang tersedia untuk mencapai sasaran, karena inflasi dipengaruhi bukan hanya oleh satu faktor.

 Teori Rational Expectations
Teori rational expectations menyebutkan bahwa faktor ekspektasi mempunyai peran penting, karena mempengaruhi perilaku dan reaksi para pelaku ekonomi terhadap suatu kebijakan. Kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi output dalam jangka pendek, karena setelah ekspektasi masyarakat berperan, output akan kembali seperti semula. Ekspektasi masyarakat inilah yang menjadi kunci keberhasilan yang harus dapat dikendalikan. Dengan penerapan target inflasi dalam kebijakan moneter, diharapkan dapat menjadi anchor bagi ekspektasi masyarakat.

 Teori Moneter Modern
Dalam perkembangan selanjutnya, teori moneter modern memasukkan aspek kredibilitas yang bersumber dari masalah time inconsistency. Artinya bahwa inkonsistensi dalam kebijakan moneter dapat terjadi apabila otoritas moneter terpaksa harus mengorbankan sasaran jangka panjang (inflasi) demi mencapai sasaran lain dalam jangka pendek. Agar hal ini tidak terjadi, maka pengendalian inflasi harus menjadi sasaran tunggal, atau setidaknya menjadi sasaran utama. Menetapkan inflasi sebagai sasaran utama berarti menghindarkan diri dari inkonsistensi kebijakan.

Kondisi ekonomi negara Indonesia pada masa orde baru sudah pernah memanas. Pada saat itu pemerintah melakukan kebijakan moneter berupa contractionary monetary policy dan vice versa. Kebijakan tersebut cukup efektif dalam menjaga stabilisasi ekonomi dan ongkos yang harus dibayar relatif murah. Kebijakan moneter yang ditempuh saat ini berupa open market operation memerlukan ongkos yang mahal. Kondisi ini diperparah dengan adanya kendala yang lebih besar, yaitu pengaruh pasar keuangan internasional.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan moneter dapat mencapai keberhasilan dalam pelaksanaannya (Sutanto, 2008: http://www.stir-stikubank.ac.id/webjurnal), yaitu :
 Indepensi Bank Sentral.
Sebenarnya tak ada Bank Sentral yang bisa bersifat benar-benar independen tanpa campur tangan dari pemerintah. Namun demikian, ada instrumen kebijakan yang tidak dipengaruhi oleh pemerintah, misalnya melalui kebijakan fiskal.
 Fokus terhadap Sasaran.
Pengendalian inflasi hanyalah salah satu di antara beberapa sasaran lain yang hendak dicapai oleh Bank Sentral. Sasaran-sasaran lain kadang-kadang bertentangan dengan sasaran pengendalian inflasi, misalnya sasaran pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, neraca pembayaran, dan kurs. Oleh karena itu, seharusnya bank Sentral tidak menetapkan sasaran lain dan berfokus pada sasaran utama pengendalian inflasi.
 Capacity to Forecast Inflation.
Bank Sentral mutlak harus mempunyai kemampuan untuk memprediksi inflasi secara akurat, sehingga dapat menetapkan target inflasi yang hendak dicapai.
 Pengawasan Instrumen.
Bank Sentral harus memiliki kemampuan untuk mengawasi instrumen-instrumen kebijakan moneter.
 Pelaksanaan secara Konsisten dan Transparan.
Dengan pelaksanaan target inflasi secara konsisten dan transparan, maka kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan yang ditetapkan semakin meningkat.
 Fleksibel sekaligus Kredibel.
Biasanya, kebijakan yang fleksibel akan cenderung kurang kredibel dan hal itu merupakan dilema dalam penentuan kebijakan. Aturan Taylor (Taylor’s rule) dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk mengatasi dilema tersebut.

Mulai Juli 2005 Bank Indonesia telah mengimplementasikan penguatan kerangka kerja kebijakan moneter konsisten dengan Inflation Targeting Framework (ITF), yang mencakup empat elemen dasar: (1) penggunaan suku bunga BI Rate sebagai policy reference rate, (2) proses perumusan kebijakan moneter yang antisipatif, (3) strategi komunikasi yang lebih transparan, dan (4) penguatan koordinasi kebijakan dengan Pemerintah. Langkah-langkah dimaksud ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan tata kelola (governance) kebijakan moneter dalam mencapai sasaran akhir kestabilan harga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Strategi Kebijakan Moneter (Bank Indonesia, 2008 : http://www.bi.go.id), adalah :
 Prinsip Dasar
Kebijakan moneter dengan ITF menempatkan sasaran inflasi sebagai tujuan utama (overriding objective) dan jangkar nominal (nominal anchor) kebijakan moneter. Dalam hubungan ini, Bank Indonesia menerapkan strategi antisipatif (forward looking) dengan mengarahkan respon kebijakan moneter saat ini untuk pencapaian sasaran inflasi jangka menengah ke depan. Penerapan ITF tidak berarti bahwa kebijakan moneter tidak memperhatikan pertumbuhan ekonomi. Paradigma dasar kebijakan moneter untuk menjaga keseimbangan (striking the optimal balance) antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi tetap dipertahankan, baik dalam penetapan sasaran inflasi maupun respon kebijakan moneter, dengan mengarahkan pada pencapaian inflasi yang rendah dan stabil dalam jangka menengah-panjang.
 Sasaran Inflasi
Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia telah menetapkan dan mengumumkan sasaran inflasi IHK untuk tahun 2008, 2009, dan 2010 masing-masing sebesar 5%+1%, 4,5%+1%, dan 4%+1%. Sasaran inflasi dimaksud sejalan dengan proses penurunan inflasi secara bertahap (gradual disinflation) mengarah pada sasaran inflasi jangka menengah-panjang yang kompetitif dengan negara lain sekitar 3%.
 Instrumen dan Operasi Moneter
BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. BI Rate merupakan suku bunga sinyaling dalam rangka mencapai sasaran inflasi jangka menengah panjang, yang diumumkan oleh Bank Indonesia secara periodik untuk jangka waktu tertentu. Dalam rangka implementasi penyempurnaan kerangka operasional kebijakan moneter, terhitung sejak tanggal 9 Juni 2008 Bank Indonesia melakukan perubahan sasaran operasional dari suku bunga SBI 1 bulan menjadi suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). BI Rate diimplementasikan dalam operasi moneter melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter yang tercermin pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Untuk meningkatkan efektivitas pengendalian likuiditas di pasar, operasi moneter harian dilakukan dengan menggunakan seperangkat instrumen moneter dan koridor suku bunga (standing facilities).


 Proses Perumusan Kebijakan
BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur melalui mekanisme Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulanan. Dalam hal terjadi perkembangan di luar prakiraan semula, penetapan stance kebijakan moneter dapat dilakukan sebelum RDG Bulanan melalui RDG mingguan. Perubahan dalam BI Rate pada dasarnya menunjukkan respons kebijakan moneter Bank Indonesia untuk mengarahkan prakiraan inflasi ke depan agar tetap berada dalam lintasan sasaran inflasi yang telah ditetapkan.
 Transparansi
Kebijakan moneter dari waktu ke waktu dikomunikasikan melalui media komunikasi yang lazim seperti penjelasan kepada press dan pelaku pasar, website, maupun penerbitan Laporan Kebijakan Moneter (LKM). Transparansi dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman dan sekaligus pembentukan ekspektasi masyarakat atas prakiraan ekonomi dan inflasi ke depan serta respon kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia.
 Koordinasi dengan Pemerintah
Untuk koordinasi dalam penetapan sasaran, pemantauan dan pengendalian inflasi, Pemerintah dan Bank Indonesia telah membentuk Tim yang melibatkan pejabat-pejabat dari berbagai instansi terkait. Dalam pelaksanaan tugasnya, Tim membahas dan merekomendasikan kebijakan-kebijakan yang diperlukan baik dari sisi Pemerintah maupun Bank Indonesia untuk mengendalikan tekanan inflasi dalam rangka pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkkan.

Strategi kebijakan moneter melalui penetapan BI Rate diarahkan pada upaya pencapaian sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Strategi tersebut ditempuh secara terukur dan hati-hati dengan mempertimbangkan proyeksi inflasi, dinamika perekonomian terkini, dan stabilitas sistem keuangan. Dalam kondisi itu upaya menjaga stabilitas makro-ekonomi diwarnai dengan penurunan BI Rate pada periode Januari sampai dengan Juli 2007 dari 9,5% ke 8,25%. Karena ada permasalahan subprime mortgage yang mewarnai perkembangan BI Rate maka Bank Indonesia menahan penurunan suku bunga sejak Juli hingga November 2007. BI Rate diputuskan tetap pada level 8,25% untuk menahan akselarasi ekspektasi inflasi dan mengurangi tekanan di pasar keuangan. Pada akhir tahun 2007 BI Rate diturunkan menjadi 8%. Kebijakan tersebut diharapkan memberi sinyal positif terhadap ekspansi ekonomi yang tengah berlangsung, kendati tetap mengedepankan upaya mencapai sasaran inflasi.
Dengan menggunakan tahun dasar 2007, laju inflasi tahunan pada akhir triwulan II-2008 mencapai 11,03% (yoy), meningkat dari 8,17% (yoy) pada triwulan I-2008. Peningkatan inflasi IHK tersebut terutama disebabkan oleh dampak langsung dan tidak langsung dari kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar 28,7% pada akhir Mei 2008. Berdasarkan komponennya, tingginya inflasi pada triwulan laporan terutama didorong oleh faktor nonfundamental yaitu administered price dan volatile food. Peningkatan inflasi administered price terutama terkait dengan kenaikan harga BBM dan kelangkaan komoditas energi. Sementara itu, meningkatnya inflasi volatile food terkait dengan dampak kenaikan harga pangan internasional. Di samping itu, kenaikan inflasi juga ditengarai oleh adanya tekanan dari sisi permintaan domestik. Bank Indonesia (BI) akan tetap konsisten mengarahkan kebijakan moneternya untuk mengamankan arah perkembangan inflasi guna mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Laju inflasi IHK tahun 2008 diprakirakan akan berada pada kisaran 11,5%-12,5% (yoy), jauh lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya atau berada di atas sasaran yang ditetapkan Pemerintah sebesar 5%+1% (Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Volume 10. [Online]. Tersedia:http://www.bi.go.id/bulletin).
Perkembangan ekonomi Indonesia selama triwulan III-2008 diwarnai oleh berbagai gejolak eksternal dan internal. Tekanan inflasi di triwulan III-2008 masih tinggi yang disebabkan oleh kuatnya permintaan domestik dan tingginya ekspektasi inflasi. Secara tahunan, inflasi IHK tercatat masih lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan II-2008. Inflasi IHK triwulan III-2008 tercatat mencapai 2,88% (qtq) atau 12,14% (yoy). Meskipun secara tahunan (yoy) inflasi IHK mengalami peningkatan, namun secara triwulanan (qtq) inflasi IHK cenderung kembali pada pola normalnya. Sementara itu, rata-rata nilai tukar Rupiah selama triwulan III-2008 menguat 0,47% dari Rp. 9.259 per USD menjadi Rp. 9.216 per USD dengan intensitas tekanan depresiasi yang meningkat pada akhir periode laporan. Kondisi makro-ekonomi yang tetap terjaga, masih menariknya imbal hasil investasi rupiah dan tingginya spread suku bunga antara domestik dan luar negeri mampu menjadi penahan laju outflow dana asing dari instrumen rupiah, serta menahan pelemahan rupiah yang lebih dalam (Laporan Kebijakan Moneter Triwulan III-2008. [Online]. Tersedia:http://www.bi.go.id).
Dalam kondisi yang masih diselimuti berbagai permasalahan tersebut, inflasi dan stabilitas ekonomi tetap menjadi fokus utama Bank Indonesia. Upaya untuk menyeimbangkan antara pengendalian inflasi dan risiko ketidakstabilan di pasar uang secara umum terus menerus dilakukan. Untuk mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas makroekonomi, Bank Indonesia mengambil kebijakan pengetatan moneter dengan menaikkan BI Rate sebesar 75 bps hingga menjadi 9,25% pada akhir triwulan III-2008 serta mengoptimalkan seluruh instrumen kebijakan moneter yang tersedia. Kenaikan BI Rate telah diikuti dengan peningkatan suku bunga deposito dan suku bunga kredit. Hingga Agustus 2008, suku bunga deposito telah meningkat lebih tinggi dibandingkan peningkatan BI Rate yang dikuti oleh peningkatan suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) dan Kredit Investasi (KI), sementara Kredit Konsumsi (KK) tercatat relatif stabil. Kebijakan ini didukung oleh serangkaian upaya untuk menjaga stabilitas rupiah dan berbagai langkah penguatan di sisi operasi pengendalian moneter.
Dari sisi kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI) secara konsisten mengarahkan kebijakannya untuk mencapai inflasi yang rendah dan stabil melalui penerapan Inflation Targeting Framework (ITF). Dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi makro terakhir serta arah perkembangan inflasi ke depan, BI Rate dalam 3 bulan terakhir dinaikkan secara bertahap dengan posisi terakhir pada akhir Agustus 2008 berada pada level 9%. Keputusan tersebut dimaksudkan untuk memantapkan stabilitas perekonomian dan sistem keuangan, khususnya untuk mendukung pencapaian sasaran inflasi dalam jangka menengah sebesar 3,5%. Tekanan inflasi yang kuat terutama bersumber dari tingginya gejolak harga minyak dan pangan dunia, serta faktor internal berupa tekanan yang berasal dari permintaan dalam negeri. Guna mengefektifkan kebijakan moneter, naiknya suku bunga kebijakan perlu diiringi dengan optimalisasi dalam penggunaan instrumen kebijakan moneter lainnya seperti pengendalian volatilitas nilai tukar dan penyerapan ekses likuiditas melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT). Sebagai salah satu upaya dalam rangka penyempurnaan kerangka operasional kebijakan moneter, maka pada tanggal 9 Juni 2008 Bank Indonesia telah menetapkan secara resmi suku bunga PUAB O/N sebagai sasaran operasional kebijakan moneter menggantikan ratarata tertimbang SBI 1 bulan. Dengan upaya ini, maka penggunaan seluruh instrumen OPT yang dimiliki Bank Indonesia akan diarahkan untuk mengelola likuiditas perbankan secara optimal sehingga suku bunga pasar uang (PUAB O/N) dapat bergerak dalam kisaran BI Rate.
Komunikasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah kebijakan moneter modern. Karena, komunikasi memegang peranan terbesar dalam mewujudkan transparansi secara signifikan kepada masyarakat. Seperti telah diketahui, transparansi dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman dan sekaligus pembentukan ekspektasi masyarakat atas perkiraan ekonomi dan inflasi ke depan serta respon kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia (BI). Sayangnya, respon masyarakat dan pelaku pasar terhadap kebijakan moneter BI masih sangat minim. Mengapa? Karena saluran komunikasi yang ada saat ini belum memudahkan masyarakat dan pelaku pasar memberikan responnya secara lebih signifikan. Saluran komunikasi yang ada masih kurang menyediakan komunikasi dua arah antara masyarakat dan pembuat kebijakan moneter. Padahal, untuk tercapainya efektivitas kebijakan moneter diperlukan respon yang signifikan dari masyarakat. Untuk itu, diperlukan sebuah corporate blog untuk BI sebagai salah satu strategi komunikasi yang mampu meningkatkan transparansi dan efektivitas kebijakan moneter BI.
Setidaknya ada tiga faktor yang mendukung perlunya komunikasi kebijakan moneter modern kepada masyarakat. Pertama, adanya peningkatan tanggung jawab (akuntabilitas) dari bank sentral terhadap kemampuan memberikan informasi yang bermanfaat kepada masyarakat. Peningkatan ini akan berbanding lurus terhadap peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap pembuat kebijakan moneter. Kedua, BI telah mengimplementasikan penguatan kerangka kerja kebijakan moneter konsisten dengan inflation targeting framework (ITF). Dan untuk mendukung tercapainya sasaran tersebut, diperlukan strategi komunikasi yang lebih transparan. Ketiga, tumbuhnya pasar keuangan di Indonesia. Dalam pasar keuangan, harga pasar digerakan oleh ekspektasi dari pelaku pasar. Mengelola ekspektasi pasar merupakan bagian tak terpisahkan dari kebijakan moneter. Dan tanggung jawab ini tidak mungkin dilakukan tanpa saluran komunikasi yang efektif dengan pelaku pasar.
Hasil penelitian Bank Indonesia menunjukkan perkembangan kondisi kapasitas perekonomian pascakrisis yang berada dalam arah yang semakin baik, meskipun belum mencapai kinerja seperti yang diharapkan. Perbaikan ini ditunjukkan oleh tren peningkatan kegiatan investasi yang terus tumbuh positif dalam beberapa triwulan belakangan ini. Ke depan peningkatan kinerja investasi ini diperkirakan akan terus berlangsung sejalan dengan terus menguatnya permintaan masyarakat yang juga didukung oleh pesatnya pertumbuhan kredit perbankan. Kondisi ini tidak terlepas dari berbagai upaya Pemerintah selama ini dalam memperbaiki iklim usaha di Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh berbagai indikator yang mengkonfirmasi adanya perbaikan pada iklim usaha di Indonesia, seperti terlihat dalam peringkat indeks risiko yang dikeluarkan International Country Risk Guide (ICRG) Selain itu, beberapa hasil survei internasional juga mengkonfirmasi adanya perbaikan dalam hal kemudahan berusaha dan tingkat daya saing Indonesia. Ke depan, reformasi struktural yang dibarengi dengan peningkatan kapasitas kelembagaan diharapkan akan terus berjalan dengan skala dan kecepatan yang lebih signifikan. Selain peningkatan kapasitas produksi domestik, prospek perekonomian Indonesia juga sangat ditentukan oleh kondisi perekonomian global.
Kondisi eksternal yang dua tahun terakhir ini cenderung kurang kondusif, secara perlahan diperkirakan akan pulih kembali memasuki tahun 2010 sejalan dengan semakin berkurangnya ancaman stagflasi ke depan. Kondisi ini diproyeksikan akan tercermin pada pertumbuhan ekonomi dunia yang kembali meningkat hingga mencapai 5,1% di tahun 2013, ditopang oleh harga minyak dunia maupun komoditas non-migas yang kembali turun dan stabil. Selain itu, turbulensi di pasar keuangan dunia yang dipicu oleh krisis subprime mortgage di AS diharapkan juga akan mereda dalam beberapa tahun kedepan. Dengan dukungan dari sisi eksternal berupa prospek perekonomian global yang semakin baik serta dari sisi internal berupa peningkatan dalam kapasitas produksi domestik, maka prospek ekonomi Indonesia ke depan selanjutnya akan sangat ditentukan oleh keberhasilan Bank Indonesia maupun Pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi makro yakni berupa inflasi yang rendah dan stabil serta pergerakan nilai tukar yang sesuai dengan fundamental ekonomi.
Hal ini sekaligus akan memberikan landasan yang kokoh bagi upaya Pemerintah dalam melakukan perbaikan iklim investasi. Guna mewujudkan hal ini, koordinasi kebijakan Bank Indonesia dengan Pemerintah perlu terus dilakukan. Dalam hal pengendalian inflasi, koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah menjadi semakin penting mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi pembentukan harga, baik dari sisi permintaan maupun penawaran, sementara instrumen yang dimiliki Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi terbatas. Hasil penelitian Bank Indonesia selama ini juga memperkuat keyakinan cukup besarnya tekanan harga yang berasal dari sisi penawaran/produksi. Salah satu contoh sumber tekanan harga dari sisi penawaran, yang selama ini sering luput dari pengamatan, adalah kondisi struktur pasar yang cenderung terkonsentrasi pada beberapa pemain besar serta situasi industri yang diwarnai inefisiensi yang tinggi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar