2.2. Respons Pasar Keuangan dan Pelaku Ekonomi Terhadap BI Rate
BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. BI Rate merupakan suku bunga sinyaling dalam rangka mencapai sasaran inflasi jangka menengah panjang, yang diumumkan oleh Bank Indonesia secara periodik untuk jangka waktu tertentu. BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur melalui mekanisme Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulanan (Bank Indonesia, 2008 : http://www.bi.go.id).
BI Rate adalah suku bunga instrumen sinyaling Bank Indonesia yang ditetapkan pada Rapat dewan gubernur triwulan untuk berlaku selama triwulan berjalan (satu triwulan). BI rate mencerminkan kondisi perekonomian di Indonesia, ketika terjadi perubahan kondisi perekonomian di Indonesia, BI meresponnya dengan menaikkan/menurunkan BI Rate. BI Rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi pengendalian moneter untuk mengarahkan agar Rata-Rata Tertimbang Suku Bunga SBI 1 bulan hasil lelang OPT (suku bunga instrumen liquidity adjustment) berada di sekitar BI Rate. Selanjutnya suku bunga SBI 1 bulan diharapkan mempengaruhi suku bunga PUAB dan suku bunga jangka yang lebih panjang.
Perekonomian Indonesia tahun 2007 lebih dipengaruhi dinamika eksternal ketimbang internal. Misalnya, kenaikan harga minyak dunia yang sempat mencapai USD 100 per barel menjelang akhir 2007. Di satu sisi,lonjakan harga minyak berdampak positif, yakni menyebabkan peningkatan ekspor. Hal ini terlihat dari kontribusi yang besar dari tingginya harga minyak kelapa sawit (crude palm oil) dan produk-produk primer lain. Hasilnya, total ekspor kembali menembus USD 110 miliar, memperbaiki rekor sebelumnya pada 2006 yang sebesar USD 100,6 miliar.
Memasuki 2008, muncul optimisme perekonomian Indonesia akan stabil atau sedikit membaik dari tahun sebelumnya. Pencapaian target indikator makro ekonomi yang cukup baik menjadi modal berharga.Inflasi relatif moderat = 6,59%. Pertumbuhan ekonomi juga cukup baik = 6,35%. Ekspor jauh melampaui impor sehingga terjadi surplus yang mendorong lonjakan cadangan devisa yang mencapai USD 57 miliar sebagai rekor baru. BI Rate juga melandai, di level 8%, cukup memberikan kenyamanan bagi perbankan dan sektor riil.Namun, mulai terdengarnya gejolak ekonomi di AS telah menyeret perekonomian dunia ke dalam bayang-bayang resesi.
Harus diakui, terdapat sejumlah indikasi yang menunjukkan kesamaan ciri-ciri, antara situasi sekarang dengan menjelang krisis 1997. Misalnya, derasnya aliran modal asing jangka pendek dari luar negeri (short-term investment) ke negara-negara tertentu yang sedang tumbuh pesat (emerging markets). Hal yang membedakan situasi saat ini dengan 1997 adalah kondisi neraca pembayaran. Pada 1997, keseimbangan eksternal (external balance) terus didera defisit transaksi berjalan, yakni defisit pada pos ekspor-impor barang dan jasa. Namun kini situasi berbeda. Pada 2007 silam, surplus neraca transaksi berjalan diperkirakan mencapai 1,4% terhadap PDB. Neraca perdagangan juga surplus, terutama karena tingginya harga-harga komoditas primer di pasar dunia. Tantangan eksternal kini telah bergeser dari semula karena tingginya harga minyak dunia menjadi potensi resesi ekonomi global setelah prospek perekonomian AS memburuk.
2.2.1. Respons Pasar Keuangan
Perkembangan BI Rate diikuti oleh suku bunga pasar uang. Sepanjang tahun 2007, suku bunga PUAB O/N rupiah secara rata-rata menurun lebih besar daripada BI Rate, sejalan dengan kondisi pasar uang yang masih mengalami kelebihan likuiditas.
Aksi buru dolar yang meruntuhkan pasar valas terus berlanjut. Posisi rupiah pun memburuk, bahkan sempat menyentuh level 9.700 dan pada tanggal 14 Oktober 2008 sempat mencapai 10.000. Namun, kenaikan BI Rate mampu membawa rupiah ditutup menguat.
Rupiah pada perdagangan Selasa 7 Oktiber 2008 ditutup menguat 25 poin ke posisi Rp. 9.560 per USD. Sehari sebelumnya, rupiah bahkan anjlok hingga 300 poin (3,23%) ke posisi 9.585 per USD. Adapun rupiah sempat mencapai Rp. 9.795 per USD, yang merupakan titik terendahnya selama perdagangan hari ini. Namun, pada siang hari rupiah dapat kembali menguat di level Rp. 9.590 per USD (http://www.inilah.com). Dengan meningkatnya BI Rate, bank sentral dapat mengurangi dampak turunan dari inflasi dan tekanan pada perekonomian Indonesia akibat imbas negatifnya perekonomian global. “Indonesia pun akan lebih diuntungkan dari segi suku bunga riil mengingat The Fed belum berencana untuk menaikkan suku bunganya, setelah terkuras oleh pemulihan sektor finansial AS,” kata Gubernur BI, Boediono (http://www.inilah.com).
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terjadi saat ini mengikuti perkembangan regional, dimana mata uang berbagai negara juga mengalami pelemahan. Saat ini gejolak (volatilitas) rupiah masih dalam keadaan normal. Statistik Bank Indonesia untuk kurs tengah rupiah menunjukkan rupiah terus terkulai. Pada Selasa 7 Oktober 2008 rupiah diperdagangkan Rp. 9.657 per USD. Padahal, pada Rabu 24 September 2008 posisi rupiah masih Rp. 9.330 per USD. Sedangkan cadangan devisa BI pada 29 Agustus 2008 tercatat USD 58,356 miliar, turun lebih dari USD 2 miliar dibandingkan posisi 31 Juli 2008 yang mencapai USD 60,563 miliar. Adapun nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing lainnya hari ini ditutup menguat. Rupiah naik terhadap dolar Singapura di Rp. 6.575,71, meningkat atas dolar Hong Kong di Rp. 1.241,06, menguat terhadap dolar Australia di Rp. 6.892,60, dan terapresiasi atas Euro pada posisi Rp. 13.075,70 (http://www.inilah.com).
Tekanan inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi pada akhir Mei 2008 telah mendorong Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate hingga mencapai 9,25% pada September 2008. Kenaikan BI Rate terjadi di tengah kondisi likuiditas keuangan yang sudah ketat. Sepanjang tahun 2008, ditengarai sistem keuangan negeri ini mengalami kekeringan likuiditas lebih cepat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Penurunan jumlah outstanding Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang dipegang oleh perbankan, berdasarkan data terakhir, sejak awal tahun 2008 sampai dengan Juni 2008 dapat menjadi indikator terjadinya kondisi di atas.
Pada Januari 2008, jumlah outstanding SBI yang dipegang oleh kalangan perbankan masih berada di kisaran Rp. 230 triliun. Jumlah ini terus turun pada bulan-bulan berikutnya dan pada bulan Juni 2008 jumlahnya menjadi sekitar Rp. 113 triliun. Tampaknya perbankan melakukan pencairan dana yang tersimpan dalam bentuk SBI untuk menutup kebutuhan likuiditasnya yang terus meningkat.
Indikasi lain adalah akhir-akhir ini banyak bank yang menawarkan deposito rupiah berjangka dengan suku bunga yang tinggi, lebih tinggi dari BI Rate dan suku bunga penjaminan. Hal ini dilakukan perbankan tentunya untuk mempertahankan dana rupiah pihak ketiga di bank yang bersangkutan. Ukuran lain yang dapat menjadi petunjuk bahwa likuiditas cenderung mengering dengan cepat adalah peningkatan suku bunga pinjaman rupiah harian antarbank (interbank overnight call money rate/overnight rate). Pergerakan overnight rate yang cenderung naik menunjukkan terjadi peningkatan kebutuhan likuiditas untuk operasional harian perbankan. Seiring dengan ketatnya likuiditas tersebut, masing-masing bank akan memilih menjaga ketersediaan uang untuk menopang kebutuhannya. Peminjaman uang ke bank lain, kalaupun dilakukan, akan disertai dengan bunga yang tinggi.
Data historis rata-rata bulanan overnight rate menunjukkan bahwa pada waktu-waktu tertentu sistem keuangan kita mengalami kekeringan likuiditas. Hal tersebut bahkan juga terjadi saat suku bunga acuan berada pada level yang relatif rendah. Misalnya, pada rentang bulan Januari-April 2007, meskipun BI Rate stabil di kisaran 9% (dan masih cenderung bergerak turun), rata-rata overnight rate merangkak naik; yakni mulai dari kisaran 5% pada bulan Januari menjadi 8,53% pada bulan April 2007. Sejak akhir tahun 2007 hingga pertengahan tahun 2008, terjadi kenaikan overnight rate secara signifikan. Pada bulan Desember 2007, rata-rata overnight rate ”baru” mencapai 4,3%. Rata-rata overnight rate mulai naik secara signifikan pada bulan Januari 2008 ke level 6%. Kenaikan ini terus berlangsung. Pada bulan Maret 2008 rata-rata overnight rate mencapai 8%. Sejalan dengan kebijakan BI yang menyamakan target overnight rate dengan BI Rate, rata - rata overnight rate kembali bergerak naik dan pada bulan Juli 2008 mencapai 8,9% (http://www.bi.go.id).
Sumber : Bramanian Surendro, Kompas 8/9/2008
Kenaikan overnight rate secara signifikan tersebut cukup berpengaruh bagi sistem keuangan kita. Kondisi ini mungkin setara dengan kenaikan Fed Rate (suku bunga acuan di Amerika Serikat/AS), sebesar 5% dalam tempo tujuh bulan. Ini mengingat Fed Funds Rate merupakan suku bunga acuan overnight rate di sana. Proses kenaikan yang demikian rasanya terlalu cepat dan cenderung dapat menimbulkan kejutan yang tidak diinginkan pada sistem keuangan kita.
Dari penelusuran beberapa pos dana yang ada di Bank Indonesia, diduga bahwa siklus penyaluran anggaran pemerintah turut memberi andil terhadap masalah siklus likuiditas yang terjadi selama ini. Hal itu dapat dilihat pada gambar 2 yang menunjukkan perkembangan rekening pemerintah yang ditempatkan di Bank Indonesia.
Sumber : Bramanian Surendro, Kompas 8/9/2008
Pola pertama yang dapat dilihat dari gambar ini adalah bahwa pemerintah selalu menyalurkan anggaran secara signifikan pada akhir tahun, dimulai pada sekitar bulan November atau bulan Desember setiap tahunnya.
Setelah itu, dana pemerintah di rekening tersebut kembali naik. Ini menggambarkan pemerintah mendapatkan tambahan dana yang bersumber baik dari penghasilan pajak, deviden BUMN, dan lain-lain maupun dari aktivitas financing (pendanaan), seperti penerbitan surat utang.
Seperti ditunjukkan oleh gambar pergerakan overnight rate dan pergerakan jumlah dana pemerintah di Bank Indonesia pada rentang tahun 2005 sampai Juli 2008. Pola penyaluran anggaran yang dilakukan pemerintah selama ini diperkirakan memiliki andil dalam masalah siklus likuiditas di atas. Dari gambar 2 itu dapat dilihat, saat pemerintah menahan penyaluran anggaran (belum ada dana baru yang masuk ke sistem keuangan), pasar seperti kehausan likuiditas (overnight rate bergerak naik). Sebaliknya, pada saat pemerintah mulai menyalurkan anggaran (ada dana yang masuk ke sistem keuangan), likuiditas menjadi longgar kembali (overnight rate bergerak turun).
2.2.2. Respons Sektor Riil
Bank Indonesia menyakini kenaikan bunga BI rate tidak akan mengganggu aktivitas perekonomian terutama sektor riil, yang selama ini dinilai rentan terhadap kenaikan suku bunga dan gejolak inflasi.
Gubernur Bank Indonesia Boediono (Asworo dan Sidik, Tersedia:http://www.bisnis.com) mengatakan indikator perekonomian Indonesia masih positif, terutama ditopang oleh kinerja perbankan yang meningkat cukup signifikan pada semester pertama tahun ini. “Berbagai indikator menunjukkan permintaan dalam negeri masih cukup kuat, ketahanan industri perbankan masih terjaga dan didukung fungsi intermediasi yang baik, penjualan kendaraan bermotor dan semen masih cukup baik”.
Perekonomian Indonesia pada 2008 diperkirakan masih akan tumbuh baik ditopang pertumbuhan ekspor, pengeluaran konsumsi masyarakat dan belanja pemerintah yang cukup tinggi. Permintaan dalam negeri juga ditopang oleh meningkatnya belanja daerah dan telah dimulainya tahapan Pemilu 2009.
Data pertumbuhan ekonomi yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia masih tumbuh baik pada triwulan kedua 2008. Tingkat pertumbuhan yang dicapai bahkan mencapai 6,4%, lebih tinggi dari perkiraan banyak pihak. Hal tersebut menjadi lebih berarti karena di saat yang sama negara-negara maju seperti Jepang dan kawasan Eropa justru mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Walaupun demikian, kita perlu mewaspadai potensi perlambatan dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam waktu dekat. Hal ini sudah diisyaratkan oleh Indikator Leading Economic Index (LEI) yang disusun oleh Danareksa Research Institute. LEI adalah indeks yang menunjukkan arah ekonomi 6-12 bulan mendatang. LEI yang menunjukkan kecenderungan atau tren yang naik menggambarkan perekonomian akan tumbuh lebih cepat dalam 6-12 bulan kemudian. Adapun LEI yang memiliki tren yang menurun memberi indikasi perekonomian akan cenderung melambat.
Sinergi kebijakan Pemerintah dan otoritas moneter berusaha menjaga stabilitas makro yang merupakan prasyarat bagi terciptanya pembangunan yang berkesinambungan dan berkualitas. Sebagai kelanjutan dari paket kebijakan ekonomi yang tertuang dalam Inpres No 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Pemerintah mengeluarkan Inpres No 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009 tanggal 22 Mei 2008. Pelaksanaan Fokus Program Ekonomi 2008-2009 yang terdiri dari 109 program ekonomi ini bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menjaga kelestarian sumber daya alam, meningkatkan ketahanan energi dan kualitas lingkungan, dan melaksanakan agenda dalam rangka menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN.
2.3. Perkembangan Likuiditas
Likuiditas pada umumnya didefinisikan sebagai kepemilikian sumber dana yang memadai untuk memenuhi seluruh kebutuhan kewajiban yang akan jatuh tempo. Atau dengan kata lain kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban pada saat ditagih baik yang dapat diduga ataupun yang tidak terduga (Djinarto, 2000:15).
Dalam likuiditas terdapat dua resiko yaitu : Pertama, resiko ketika kelebihan dana dimana dana yang ada dalam bank banyak yang idle, hal ini akan menimbulkan pengorbanan tingkat bunga yang tinggi. Kedua, resiko ketika kekurangan dana, akibatnya dana yang tersedia untuk mencukupi kebutuhan kewajiban jangka pendek tidak ada (Rivai, 2007:388-389).
Likuiditas adalah kemampuan bank untuk memenuhi kemungkinan ditariknya deposito/simpanan oleh deposan/penitip. Dengan kata lain, menurut definisi ini, suatu bank dikatakan likuid apabila dapat memenuhi kewajiban penarikan uang dari pada penitip dana maupun dari para peminjam/denitur (Chairuddin,2008:http://www.fe-usu.ac.id/manajemen).
Likuiditas adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban hutang- hutangnya, dapat membayar kembali semua deposannya, serta dapat memenuhi permintaan kredit yang diajukan para debitur tanpa terjadi penangguhan (Chairuddin,2008:http://www.fe-usu.ac.id/manajemen).
Likuiditas adalah kemampuan bank untuk menyediakan saldo kas dan saldo harta likuid yang lain untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya, khususnya untuk : (1)Menutup jumlah reserves required; (2)Membayar chek, giro berbunga, tabungan dan deposito berjangka milik nasabah yang diuangkan kembali; (3)Menyediakan dana kredit yang diminta calon debitur sehat, sebagai bukti bahwa mereka tidak menyimpang dari kegiatan utama bank yaitu pemberian kredit; (4)Menutup berbagai macam kewajiban segera lainnya; (5)Menutup kebutuhan biaya operasional perusahaan.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan secara singkat bahwa Likuiditas adalah kemampuan suatu bank atau suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendeknya. Secara praktis, likuiditas suatu bank sering dikaitkan dengan jumlah dana pihak ketiga yang terdapat di bank tersebut pada waktu tertentu. Dalam hal ini, untuk kondisi indonesia, Pemerintah melalui Bank Sentral menetapkan kewajiban setiap bank untuk memelihara likuiditas wajib minimum sebesar 5% dari besarnya kewajiban terhadap pihak ketiga. Dalam hal ini, kewajiban kepada pihak ketiga.
Perkembangan yang dicermati Bank Indonesia adalah kondisi likuiditas pasar uang di beberapa bank yang mengalami keketatan likuiditas. Keketatan ini dipengaruhi oleh ketidakmerataan likuiditas di antara bank mengingat secara total kondisi likuiditas perbankan masih memadai. Selain itu, tingginya ekspansi kredit perbankan yang tidak disertai dengan pertambahan penghimpunan dana masyarakat yang memadai telah menyebabkan beberapa bank mengalami keketatan likuiditas. Perilaku berjaga-jaga perbankan dalam menghadapi peningkatan permintaan uang kartal menjelang hari raya keagamaan dan masih rendahnya ekspansi rekening pemerintah semakin menambah ketatnya kondisi likuiditas perbankan.
Namun, keketatan likuiditas tersebut diperkirakan lebih bersifat temporer. Keketatan kondisi likuiditas ini diperkirakan akan berkurang setelah berakhirnya periode lebaran yang ditandai dengan kembalinya uang kartal ke sistem perbankan dan cenderung ekspansinya rekening pemerintah di triwulan IV-2008. Guna mengatasi permasalahan ketatnya kondisi likuiditas tersebut, Bank Indonesia telah melakukan berbagai upaya diantaranya melalui penyempurnaan pelaksanaan operasi moneter. Di tengah gejolak keuangan global dan melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, perekonomian Indonesia pada triwulan III-2008 masih mencatat pertumbuhan yang tinggi. PDB triwulan III-2008 diprakirakan akan tumbuh sebesar 6,3% (yoy), setelah mencatat pertumbuhan sebesar 6,4% (yoy) pada triwulan II-2008.
Setelah mengamankan ketersediaan rupiah, kini Bank Indonesia mulai melonggarkan likuiditas dollar AS di pasar. Langkah ini bertujuan melancarkan kembali kredit ekspor-impor dan mengantisipasi pelemahan nilai tukar. Ada empat kebijakan terkait pelonggaran likuiditas valas yang diumumkan BI, yakni perpanjangan tenor pertukaran valas, penyediaan valas bagi korporasi, penurunan rasio giro wajib minimum (GWM) valas, dan pencabutan aturan tentang batasan saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek. Sebelumnya, BI mengeluarkan kebijakan guna melonggarkan likuiditas rupiah, seperti insentif suku bunga dan tenor untuk fasilitas transaksi gadai (repurchase agreement/repo) penurunan GWM rupiah, dan perluasan jaminan fasilitas pendanaan jangka pendek.
Ketatnya likuiditas memang menjadi persoalan utama dari krisis keuangan global yang terjadi saat ini. Hal itu terjadi karena hilangnya kepercayaan antara bank dan sesama bank atau bank dan nasabahnya. Dampaknya, penyaluran kredit yang menjadi urat nadi perekonomian pun macet. Likuiditas dollar AS yang ketat di dalam negeri pada akhirnya akan berdampak pada kejatuhan nilai tukar. Permintaan dollar AS yang tinggi di tengah pasokan yang kurang akan memperkuat nilai tukar dollar AS terhadap rupiah. Terbukti pada tanggal 14 Oktober 2008, rupiah sempat menembus batas psikologis Rp. 10.000 per USD.
Mencermati gejolak ekonomi dan keuangan global yang sedang berjalan, Bank Indonesia mengambil langkah-langkah yang menjaga kecukupan likuiditas valuta asing dan rupiah di dalam negeri. Langkah-langkah tersebut mencakup:
1. Perpanjangan tenor FX Swap dari paling lama 7 hari menjadi sampai 1 bulan (berlaku sejak 15 Oktober 2008). Langkah ini untuk memenuhi permintaan valuta USD yang sifatnya temporer sehingga memberi waktu penyesuaian yang cukup bagi bank/pelaku pasar sebelum benar-benar melakukan penyesuaian komposisi portfolio-nya.
2. Penyediaan pasokan valuta asing bagi perusahaan domestik melalui perbankan (berlaku sejak 15 Oktober 2008), untuk meningkatkan kepastian pemenuhan kebutuhan valuta asing perusahaan domestik.
3. Penurunan rasio GWM valuta asing untuk bank umum konvensional dan syariah dari 3,0% menjadi 1,0% (berlaku sejak 13 Oktober 2008) untuk menambah ketersediaan likuiditas valuta USD yang dapat digunakan bank dalam bertransaksi dengan nasabahnya.
4. Pencabutan ketentuan pasal 4 PBI No. 7/1/PBI/2005 tentang batasan posisi saldo harian Pinjaman Luar Negeri jangka pendek dengan meniadakan batasan posisi saldo harian Pinjaman Luar Negeri jangka pendek (berlaku sejak 13 Oktober 2008). Langkah ini ditujukan untuk mengurangi tekanan pembelian USD karena adanya pengalihan rekening rupiah ke valuta asing oleh nasabah asing.
5. Penyederhanaan perhitungan GWM rupiah (berlaku sejak 24 Oktober 2008) menjadi hanya dalam bentuk statutory reserves sebesar 7,5% dari DPK agar likuiditas rupiah dalam sistem perbankan menjadi lebih memadai.
Pelonggaran GWM valas ini diperkirakan dapat menambah likuiditas di pasar hingga USD 720 juta. Berdasarkan data BI, jumlah dana pihak ketiga dalam bentuk valas mencapai USD 36 miliar per 6 Oktober 2008. Dengan pengenaan GWM 1%, jumlah dana yang harus ditempatkan di BI turun menjadi USD 360 juta dari sebelumnya USD 1,08 miliar dengan rasio GWM 3%.
Gejolak pasar global berawal dari krisis AS telah berimbas kepada perekonomian dunia termasuk Indonesia yang menyebabkan pasar keuangan mulai mencari titik keseimbangan baru. Hal ini sedikit banyak menimbulkan ketidakpastian bagi para pelaku pasar. Dalam keadaan seperti ini posisi pasar Negara berkembang (Emerging Market termasuk Indonesia) menjadi kurang beruntung karena para pemodal besar cenderung melikuidasi posisinya di Negara Berkembang untuk menutupi kerugiannya di tempat lain serta berpindah ke instrument yang dianggap lebih aman (surat hutang di US) atau ke bentuk kas. Akibatnya likuiditas di pasar keuangan di berbagai negara termasuk Indonesia menjadi langka. Di Indonesia, pada saat bersamaan pertumbuhan ekonomi yang tinggi membutuhkan likuiditas yang lebih besar pula dan pada akhirnya berpengaruh terhadap likuiditas di pasar saham dan perbankan nasional.
Secara makro keadaan dan prospek likuiditas Indonesia tetap terjaga di tengah gejolak pasar global dan pasar keuangan domestik yang telah membawa dampak kepada perkembangan indeks harga saham, pasar surat hutang, maupun rupiah. Terjaganya likuiditas ditandai dengan gambaran APBN sampai dengan bulan Agustus 2008 di mana realisasi Pendapatan Negara khususnya penerimaan pajak naik sebesar 46%, sehingga penerimaan negara keseluruhan melampaui target sebesar 68% dari APBN-P.
Pada sisi Belanja Negara memang masih belum mencapai target yang diinginkan, namun sudah lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Pengeluaran subsidi BBM juga diperkirakan berkurang karena penurunan harga minyak dunia, sehingga akan mengurangi pengeluaran total pemerintah. Akibatnya, gambaran defisit tahun 2008 akan menurun dari semula 2,1% PDB menjadi sekitar 1,7% PDB. Dengan penurunan defisit tersebut maka kebutuhan pembiayaan melalui penerbitan surat hutang akan menurun sebesar Rp. 15 triliun yang pada akhirnya akan mengurangi kebutuhan likuiditas pemerintah dari pasar.
Sementara itu pada Gambaran Neraca Pembayaran, Neraca Perdagangan pada Triwulan kedua tahun 2008 mengalami penurunan disebabkan oleh kenaikan impor minyak dalam jumlah yang sangat besar. Hal ini disebabkan oleh siklus tahunan dalam rangka penguatan stok bahan bakar menghadapi lebaran dan pemeliharaan rutin tahunan kilang minyak Pertamina yang waktunya berdekatan dengan bulan puasa saat kebutuhan stok BBM harus ditingkatkan. Impor barang modal juga naik. Kenaikan impor barang modal sebenarnya mencerminkan sinyal positif karena merefleksikan kenaikan investasi dalam kerangka menopang pertumbuhan ekonomi. Kenaikan impor ini diperkirakan masih terus berlangsung sampai dengan triwulan III tahun 2008 namun akan membaik pada triwulan IV 2008 karena pergerakan siklus yang kembali normal.
Dari gambaran neraca modal, dalam triwulan kedua tercatat kemajuan yang signifikan, di mana arus investasi asing langsung meningkat dari USD 1 miliar (triwulan II 2007) menjadi USD 2,8 miliar pada triwulan II 2008. Kecenderungan ini diperkiran masih akan berlanjut hingga akhir tahun. Oleh karena itu neraca pembayaran Indonesia akan relatif aman.
Pemerintah bersama Bank Indonesia siap mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi tekanan likuiditas yang bersifat makro maupun mikro. Langkah-langkah tersebut, antara lain: (1) Pemerintah terus memperbaiki tingkat penyerapan belanja dan bahkan melakukan percepatan pengucuran belanja untuk rekening-rekening tertentu, (2) Pemerintah akan mengurangi penerbitan surat berharga negara sesuai dengan gambaran defisit APBN tahun 2008, (3) Menyegerakan penyelesaian revisi PP. No.1/2007 tentang perluasan cakupan industri yang mendapatkan fasilitas fiskal, sehingga mendorong investasi langsung yang selanjutnya akan menarik arus modal masuk, (4) BI menyediakan fasilitas likuiditas kepada perbankan yang membutuhkan melalui operasi pasar terbuka, termasuk melalui pembelian surat berharga, (5) BI melakukan penyempurnaan berbagai aturan tentang pemberian fasilitas repo sehingga mempermudah perbankan untuk mendapatkan likuiditas tambahan dari BI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar