D. PERBEDAAN ILMU-ILMU SOSIAL DENGAN ILMU ALAM
Selama bertahun-tahun ilmu-ilmu sosial telah menjadi arena bagi sejumlah keritik, dimana keritik yang dikemukakan adalah bermacam-macam, mulai dari keraguan, tentang kegiatan ahli ilmu-ilmu sosial karena ”ilmu-ilmu sosial adalah tidak mungkin” sampai kepada rasa ngeri terhadap kegiatan ahli ilmu-ilmu sosial karena ” terlalu banyak pengetahuan sosial akan membahayakan manusia”. Pembahasan ini akan mencoba memberikan penilaian terhadap beberapa pokok permasalahan yang penting yang disuarakan oleh para kritikus yang ragu-ragu terhadap status keilmuan dari ilmu-ilmu sosial.
Di bandingkan denga ilmu-ilmu alam yang telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, ilmu-ilmu sosial agak tertinggal di belakang. Beberapa ahli bahkan berpendapat bahwa ilmu-ilmu sosial takkan pernah menjadi ilmu dalan artian yang sepenuhnya. Di pihak lain terdapat pendapat bahwa secara lambat laun ilmu-ilmu sosial akan berkembang juga miskipun tak akan mencapai derajat keilmuan seperti apa yang di capai ilmu-ilmu alam. Menurut kalangan lain adalah tak dapat di sangkal bahwa dewasa ini ilmu-ilmu sosial masih berada dalam tingkat yang belum dewasa. Walaupun begitu mereka berangapan bahwa penelitian-penelitian di bidang ini akan mencapai derajat keilmuan yang sama seperti apa yang di capai ilmu-ilmu alam. Terdapat beberapa kesulitan untuk merealisasikan tujuan ini karena beberapa sifat dari obyek yang di teliti ilmu-ilmu sosial. Seperti di ketahui ilmu-ilmu sosial mempelajari tingkah laku manusia.
Perbedaan-perbedaan mendasar antara lain:
Ilmu sosial itu mempelajari manusia dari segi hubungannya dengan manusia lain, dan sifatnya subjektif berdasarkan penafsiran, persepsi, generalisasi, asumsi dan sebagainya. Dalam ilmu sosial perkembangan dari masa ke masa cenderung dinamis karena adanya kasus-kasus baru ataupun faktor-faktor baru dari kasus- kasus lama.
Ilmu alam mempelajari alam dan unnsur-unsurnya dan ilmu alam lebih objektif, matematis, dan berdasarkan bukti-bukti impiris dan perhitungan. Kalau ilmu alam cenderung lambat , statis dan itu itu saja.
Perbedaan mendasarnya antara ilmu sosial dan alam,
Misalnya ;
Binatang punah kalau di tinjau dari ilmu sosial maka ini di sebabkan oleh ulah manusia, sedangkan ditinjau dari ilmu alam maka ini di sebabkan oleh akibat dari seleksi alam.
Banyak orang mengatakan bahwa ilmu alam berbeda dengan ilmu sosial. Perbedaannya terletak pada objek yang di kajinya. Ilmu alam mengkaji fenomena yang terjadi di alam ini, dan bagaimana hubungan manusia dengan lingkungannya. Makanya ilmu alam sering di sebut sebagai Science. Sedangkan ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan manusia dengan manusia dan berbagai macam interaksinya. Sehingga pendekatan yang diberikan dalam mempelakari masing-masing ilmu ini pun berbeda, karena objeknya yang berbeda tadi.
Ilmu alam sifatnya mutlak contohnya 2x2 = 4, sedangkan ilmu sosial sifatnya relatif misalnya 2x2 bisa jadi bukannya 4 tetapi bisa 5 ini hanya pengandaian saja.
E. PENDIDIKAN IPS DITENGAH DINAMIKA NASIONAL DAN GLOBAL
1. Aktualisasi Pendidikan IPS dalam Upaya Demokratisasi
Sejarah peradaban manusia mencatat adanya kecendrungan supaya demokratisasi dari zaman ke zaman dalam hampir seluruh bidang kehidupan di dunia, terutama di daerah jajahan. Upaya demokratisasi itu bukan hanya di bidang politik, melainkan juga dibidang ekonomi, sosial budaya, pendidikan, sistem sosial, agama dan sistem kepercayaan, dan lain sebagainya. Bergulirnya glasnost dan perestroika yang dicetuskan oleh Mikhail Gorbachev tahun 1980-an pada dasarnya telah mengakibatkan berdirinya negara-negara merdeka di bekas Uni Soviet akibat runtuhnya komunisme di Eropa.
Supremasi negara-negara Barat ini terus dikembangkan lewat bendera hak-hak asasi manusia, ekonomi pasar bebas, demokratisasi, dan lingkungan hidup – unsur-unsur yang menjadi kekuatan globalisasi sekarang ini. Alvin Toffler (1990) memperkirakan bahwa dalam 100 tahun mendatang, ”knowledge as power” akan tetap berjaya dalam suasana masih akan maraknya kemiskinan dan kekerasan.
Bangsa Indonesia telah mempunyai landasan dan cita-cita luhur yang tercantum dalam Pancasila, UUD 1945, dan GBHN, yang secara ideologis dan konsepsi telah mengoreksi kelemahan pelaksanaan cultural heritage (kebudayaan yang diwarisi) negara-negara Barat maupun negara-negara sosialis-komunis. Karena itu, upaya demokratisasi yang menjadi tujuan risalah ini menjadi sangat relevan, dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), penyempurnaan Sistem Pemilihan Umum, gagasan untuk mengurangi jumlah anggota Fraksi TNI di DPR, perluasan Otonomi Daerah Tingkat II, keterbukaan, kebebasan mimbar akademik, dan kebebasan pers yang bertanggung jawab adalah langkah-langkah untuk meningkatkan upaya demokratisasi, agar masyarakat luas dan lembaga politik, ekonomi, sosial budaya makin berkesempatan dan berani mengemukakan pendapat terhadap jalan pembangunan dan masalah yang dihadapinya.
Aktualisasi Pendidikan IPS ini akan lebih menekankan langkah stategis jangka panjang dalam ”laboratorium demokrasi” sebagai investasi sumber daya manusia (human investment) agar mutu generasi muda bangsa semakin meningkat dalam upaya demokratisasi untuk menghadapi masa mendatang yang akan penuh dengan masalah dan tantangan. Aktualisasi Pendidikan IPS tidak dimaksudkan untuk memecahkan masalah upaya demokratisasi dalam arti politik praktis difokuskan pada perkembangan akademiknya. Hal ini dimaksudkan agar Pendidikan IPS mampu melahirkan pikiran dan teori terbaiknya dalam upaya demokratisasi sebagai bagian untuk menjadikan ”Education as Power”.
Muatan Pendidikan IPS dan Upaya Demokratisasi
Aktualisasi Pendidikan IPS secara akademik mencakup perkembangan pengertian, isi, metode, dan evaluasi, agar Pendidikan IPS sebagai laboratorium demokrasi bisa berkembang sebagai upaya jangka panjang/strategis dalam upaya demokratisasi. Konsensus pimpinan FPIPS IKIP dan Jurusan Pendidikan IPS FKIP/STKIP se-Indonesia di IKIP Yogyakarta tahun 1991 merumuskan Pendidikan IPS sebagai matakuliah adalah ”seleksi bahan dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang benar-benar diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan”.
Berkaitan dengan upaya demokratisasi ini adalah model penyusun isi Pendidikan IPS. Theodore Kalsounis (1990:65) menyusun isi Pendidikan IPS sebaiknya memperhatikan bagan berikut ini :
Jadi sifat dari isi Pendidikan IPS harus merupakan kesatuan dari perkembangan kesatuan unsur kognitif, afektif, dan keterampilan.
Fakta dan konsep-konsep pada umumnya sudah tersedia pada masing-masing displin ilmu-ilmu sosial misalnya : ”demokrasi, hak asasi, kemakmuran, dan konsep kekuasaan”. Apa yang harus dibentuk oleh Pendidikan IPS dalam menyiapkan dan merencanakan isi pendidikan adalah sebuah generalisasi yang belum diuji tingkat kebenarannya. Bahan inilah yang akan dikaji dalam laboratorium demokrasi, sehingga akhirnya akan menjadi generalisasi yang sudah teruji tingkat kebenarannya. Begitulah seterusnya tugas rutin staf pengajar Pendidikan IPS.
Keterampilan Berpikir Dalam Pendidikan IPS
Bahan Pendidikan IPS yang secara akademis sudah siap untuk diluncurkan masih harus disiapkan sistem belajar dan mengajarnya dengan memperhatikan langkah ilmiah dan psikologis. Seperti digambarkan dalam model penyusunan isi Pendidikan IPS, salah satu unsurnya yang penting adalah keterampilan (skills). Skills ialah seperangkat jenis-jenis keterampilan dan dimensi berpikir serta keterampilan sosial dan berkomunikasi yang terdiri atas lima tingkat, yaitu; (a) menafsirkan, (b) menerapkan, (c) menganalisis, (d) mensintesiskan, dan (e) mengevaluasi.
Termasuk dalam mengembangkan keterampilan ini adalah masalah jenis dan dimensi dan potensi berpikir peserta didik mulai dari jenis dan mutu berpikir yang paling sederhana sampai berpikir yang cukup mendalam seperti reflective thinking dengan berbagai aneka ragam dimensi berpikir lainnya seperti (a) meta-cognition, (b) critical dan creative thinking, (c) thinking process, (d) core thinking skills, dan (e) the relationship of content area of knowledge to thinking.
Begitu kompleksnya jenis-jenis berpikir dalam proses pendidikan inilah mebuat guru dan ahli pendidikan pada umumnya kurang begitu tekun memahami, apalagi melaksanakannya dalam tugasnya sehari-hari memerlukan kesabaran dan ketekunan yang luar biasa. Kesabaran dan ketekunan ini dihadapkan pula pada masalah perbedaan individual (individual differences) dalam kelas Pendidikan IPS sebagai laboratorium demokrasi biasanya diidentifikasikan dalam tiga kelompok penduduk yaitu : (a) kelompok yang mempunyai sifat seperti ”batu” (stone citizen), (b) ”busa” (sponge citizen), dan (c) generator (generator citizen) (Clark, 1989 : dalam Numan Somantri : 184).
Kelompok ”batu” adalah peserta didik mahasiswa yang dihinggapi dengan sifat belajar pasif, yang sangat sukar sekali untuk menerima dan terlibat dalam proses berpikir, apalagi tergerak untuk berkomunikasi. Kelompok ”busa” agak mirip dengan kelompok ”batu”, tetapi mereka masih mau menerima masukan dari efektor. Kelompok ”generator citizen” yang mempunyai sifat mau menerima bahan pendidikan dan terampil berprakarsa, serta berkeinginan untuk berperan serta dalam kehidupan sosial. Dalam kaitan itulah gaya mengajar dan kepribadian guru harus dipertaruhkan, maka guru dan dosen dituntut untuk terus menekuni jatidiri Pendidikan IPS disertai dengan pemantapan dan pendalaman substansi Pendidikan IPS dengan pengabdian yang tinggi untuk terjadinya upaya demokratisasi sebagai human investment dan makin berkembangnya ”education as power”.
Kalau dikelompokkan, hambatan-hambatan meliputi hal-hal sebagai berikut : (a) hambatan mental, akademik, dan administratif terhadap kurikulum Pendidikan IPS dan pelaksanaannya; (b) hambatan resistensi pada pendekatan ekspositori; (c) hambatan resistensi pada belajar pasif; (d) hambatan sumber belajar yang kurang memasukkan partisipasi dan masalah-masalah sosial; dan (e) hambatan kultural. Hambatan berikutnya adalah resistensi pada pendekatan ekspositori yang masih dilakukan oleh guru pendekatan ekspositori seperti ceramah ini jelas bertentangan dengan kurikulum FPIPS.
Pendidikan IPS sebagai laboratorium demokrasi yang bisa dilakukan secara sederhana dan bertahap oleh setiap orang. Langkah-langkah tersebut diantaranya sebagai berikut :
• Jadikan setiap pokok bahasan menjadi generalisasi yang bermasalah;
• Ikuti langkah-langkah pendekatan pemecahan masalah dan dialog kreatif dalam mengkaji generalisasi;
• Upayakan kognitif, afektif, dan keterampilan dengan kriteria generator citizen.
2. Tantangan Pendidikan IPS dalam Memasuki Abad XXI
Pendidikan IPS perlu dikaji secara akademis, perlu mempunyai jati diri serta perlu selalu melihat dan menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat dan dunia. Karena ruang lingkup Pendidikan IPS menyangkut kegiatan dasar manusia, maka bahannya bukan hanya mencakup ilmu-ilmu sosial dan humaniora, melainkan juga segala gerak kegiatan dasar manusia seperti agama, sains, teknologi, seni dan sebagainya yang bisa memperkaya Pendidikan IPS.
Hambatan Keahlian dan Semangat Ilmiah
Penerapan jatidiri Pendidikan IPS yang diwadahi dalam primary structure, sehingga matakuliah bidang studi lainnya dibiarkan sebagaimana sekarang. Masalahnya matakuliah ini harus merekonstruksi dan menjalinkan kerjasama disiplin ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, kegiatan dasar manusia, dengan pendekatan inter-, cross-, dan trans- disipliner. Ketidak jelasan hubungan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan sifat Penelitian Pendidikan IPS menyebabkan adanya sikap apatis terhadap sikap ilmiah karena tidak jelasnya bidang keahlian. Hal ini terkait dengan pengertian jatidiri Pendidikan IPS yang belum memasyarakat di lingkungan FPIPS dan PPS yang menyebabkan semangat ilmiah masih lemah.
Hambatan Administrasi
Walaupun kurikulum FPIS sudah beberapa kali mengalami perubahan, tetapi pada dasarnya tidak ada perubahan yang prinsipil dan mendasar, karena tidak jelas dasar filosofisnya dan kurang sesuai dengan keperluan pembaharuan kurikulum FPIPS. Pembaharuan kurikulum selama ini hanya menambah dan mengurangi porsi matakuliah keguruan dan bidang studi. Sementara ini FPIPS ditambah dengan berbagai penugasan seperti program penyetaraan dan program diploma. Lagi pula belum pernah dilakukan evaluasi program terhadap kurikulum yang diperbaharui itu. Banyak ketentuan dari Ditjen Dikti dan Konsorsium Ilmu Pendidikan yang membikin fakultas sibuk, tetapi kenyataannya berjalan di tempat, sehingga hampir tidak ada perubahan mendasar secara kualitatif dan pedagogis. Keadaan inilah menyebabkan masyarakat ilmiah FPIPS kurang inisiatif dan kreatif dalam pembaharuan kurikulum, sehingga keahlian untuk mengadakan pembaharuan kurikulum yang tepat guna sesuai dengan misi dan tujuan IKIP sulit untuk dicapai.
Hambatan Penelitian
Penelitian di bidang Pendidikan IPS sudah cukup banyak dilakukan di lingkungan FPIPS dan tingkat Pascasarjana dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertasi. Namun masih sangat sedikit yang bisa dipertimbangkan kegunaannya untuk meningkatkan mutu. Hal ini dapat dimengerti karena tidak jelasnya kebijakan penelitian Pendidikan IPS sehingga penelitian hanya merupakan ”intellectual exercise” untuk masing-masing orang guna memenuhi persyaratan formal ujian akhir atau penyelesaian proyek penelitian. Karena itu, sudah waktunya setiap fakultas diberi atau ditugasi proyek penelitian Pendidikan Bidang Studi (Pendidikan IPS) dengan kategori ”hibah bersaing” yang secara eksplisit mampu menjabarkan jatidiri Pendidikan IPS, dilaksanakan oleh masyarakat ilmiah FPIPS-PPS dengan penuh tanggungjawab. Hasil penelitian itu bisa dimonitor kemajuan dan tingkat keberhasilannya. Hasil penelitian itu tepat untuk dibicarakan dalam pertemuan tahunan forum komunikasi FPIPS. Forum komunikasi semacam itu baru akan besar manfaatnya bagi perkembangan akademik Pendidikan IPS khusunya dan kurikulum FPIPS-PPS pada umumnya.
Tantangan Dinamika Masyarakat dan Globalisasi
Sementara FPIPS dan PPS masih membenahi kurikulum dan peningkatan mutu staf pengajarnya, dinamika masyarakat dan globalisasi sangat dirasakan terutama kepada bahan ajar yang selama ini terlalu menitikberatkan kepada teori-teori dan ”non-functional knowledge”. Isi bahan ajar praktis tidak dapat memperkaya atau menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat dan derasnya globalisasi dalam teori maupun gejala dan masalah-masalah kemasyarakatan yang berhubungan satu sama lain.
Menurut Alvin Tofler, dalam 100 tahun mendatang dunia akan tetap ditandai oleh masalah kemiskinan dan kekerasan Dunia Barat menandai masa mendatang itu dengan tampilnya isu-isu demokrasi, lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan ekonomi pasar bebas. Hal ini menuntut mata kuliah ilmu-ilmu sosial di FPIPS dan PPS untuk menata diri dengan perkembangan tersebut, baik yang terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri.
3. Strategi Pengembangan Pendidikan IPS dalam Mengantisipasi Masa Depan
Masyarakat maju dewasa ini dan mendatang pasti akan mengangkat berbagai isu dan kebutuhan, seperti masalah hak-hak asasi manusia, dampak perdagangan bebas, kejahatan, minuman keras, seks, dan berbagai patologi sosial lainnya. Abad yang akan datang masih akan diwarnai kemiskinan, kebodohan, dan tindak kekerasan. Begitu luas dan rumitnya rumitnya ruang lingkup Pendidikan IPS, sehingga pengembangannya dibagi ke dalam tiga sub tujuan, yaitu : (a) Pendidikan IPS sebagai Pendidikan Kewarganegaraan; (b) Pendidikan IPS sebagai ilmu yang konsep dan generalisasinya dalam disiplin ilmu-ilmu sosial; dan (c) sebagai ilmu yang menyerap bahan pendidikan dari kehidupan nyata dalam masyarakat kemudian dikaji secara reflektif (Skeel & Brubaker, 19995).
Berdasarkan bebagai masalah dan hambatan yang dihadapi oleh FIPS, maka perspektif aktualisasinya di antaranya sebagai berikut :
1. Untuk jangka panjang perlu ada panitia tetap Senat Fakultas dan Institut untuk mengkaji dan mengevaluasi pengembangan akademik Pendidikan IPS sebagaimana tercantum dalam struktur kurikulum FPIPS dan PPS untuk pendidikan bidang studi.
2. Pada dasarnya seluruh MKBS merujuk pada ”ide fundamental” disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang diperkaya dengan pengetahuan fungsional yang tumbuh dan diperlukan oleh masyarakat serta perkembangan IPOLEKSOSBUDHANKAM.
3. Staf pengajar dapat memulai upaya aktualisasi Pendidikan IPS melalui penyempurnaan pendekatan ekspositori menuju pendekatann inkuiri yang sesuai dengan kemampuannya.
4. Penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi hendaknya ada yang diarahkan untuk ikut memantapkan program dan perspektif aktualisasi Pendidikan IPS. Home base Kuliah Kerja Nyata hendaknya di sekolah untuk lebih mengkondisikan para mahasiswa calon guru dengan masalah pendidikan dengan tidak melupakan pengalaman bermasyarakat.
4. Pendidikan IPS Menghadapi Era Indonesia Baru
Agar sesuai dengan kecendrungan masyarakat pada Era Indonesia Baru, jelas kiranya bahan Pendidikan IPS banyak yang harus disesuaikan dengan indikator-indikator kehidupan pada era tersebut, terutama nilai-nilai demokrasi dan hukum, rule of law dan reformasi dalam segala bidang (IPOLEKSOSBUD) yang dalam zaman Orde Baru cenderung kurang kondusif untuk kehidupan demokrasi, hukum, politik, ekonomi, dan keadilan. Untuk memperbaharui dan menyiapkan bahan Pendidikan IPS pada Era Indonesia Baru, perlu dikembangkan pendekatan inter- dan cross-disipliner dalam menyusun matakuliah di FPIPS. Tujuannya ialah agar bahan pelajaran disajikan secara komprehensif dan menyentuh masalah-masalah sosial, dengan tidak mengabaikan cara berpikir ilmiah dan ruang lingkup disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Sebelum mengajar, kita dituntut untuk menyusun bahan pelajaran secara ilmiah dan psikologis. Bermacam-macam gaya mengajar kita tampilkan sesuai dengan keperluan, termasuk misalnya penggunaan cerita (narrative approach) disertai tanya-jawab yang sering kita anggap enteng itu. Sikap guru dan dosen dalam Era Indonesia Baru perlu diperhatikan untuk memupuk dan memperkuat rasa percaya diri komunitas Pendidikan IPS, mengingat adanya perubahan sistem nilai dalam dinamika masyarakat Indonesia Baru.
Sikap guru dan dosen Pendidikan IPS itu ialah : (a) bersikap propaganda yang didominasi oleh metode ceramah, (b) bersikap netral terhadap masalah dan perubahan yang sedang terjadi, dan (c) menambah pengetahuan yang luas disertai dedikasi untuk mencapai tujuan pendidikan. Sikap propagandis dan teknik ceramah mudah dilakukan, tetapi sebaiknya metode ini jagan terlalu banyak digunakan. Guru dan dosen mempunyai tugas edukatif, yaitu sebagai fasilitator agar siswa sampai kepada sikap dan kesimpulan yang terbaik melalui serangkaian dialog kreatf.
Guru dan dosen yang baik adalah yang berpengetahuan luas dan terbiasa dengan pendekatan lintas-sektoral atau inter-disipliner sehingga dapat disajikan bahan pelajaran yang berorientasi masalah. Selain itu, harus terbiasa menggunakan langkah pemecahan masalah melalui pendekatan inkuiri. Selain bersikap demokratis, dosen/guru harus mampu menciptakan kelas sebagai laboratorium demokrasi, supaya peserta didik terlatih dan terbiasa berbeda pendapat. Kebiasaan ini penting dikondisikan sejak di bangku sekolah/kuliah, agar ketika terjun ketengah masyarakat para peserta didik terbiasa berbeda pendapat jujur dan sportif dalam mengakui kekurangannya sendiri dan siap menerima pendapat orang lain yang lebih baik, serta mampu mencari pemecahan masalah secara elegan.
Hal yang perlu dihindari ialah bila perbedaan pendapat itu menjurus pada konflik yang bersifat intrapersonal yang dapat merugiakan kesehatan mental peserta didik. Perlu dicatat bahwa sekalipun benar sifat ilmu-ilmu sosial dengan segala permasalahannya itu kompleks, tetapi jangan lalu diangggap bahwa Pendidikan IPS itu Quo Vadis. Kalau kita memahami batasan akademik Pendidikan IPS serta menguasai berbagai cara menyusun dan menyajikan bahan pelajaran dengan baik, maka anggapan Quo Vadis Pendidikan IPS dalam menghadapi Era Indonesia Baru hanyalah berpangkal dari kekurangpahaman saja terhadap arti akademik Pendidikan IPS beserta metode mengajarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Somantri, Numan, (2001), Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Pascasarjana UPI dan Rosda Karya.
Supardan, Dadang. (2008). Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara
Suriasumantri, Jujun S. (2005). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
--------------------------- (2001). Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Selama bertahun-tahun ilmu-ilmu sosial telah menjadi arena bagi sejumlah keritik, dimana keritik yang dikemukakan adalah bermacam-macam, mulai dari keraguan, tentang kegiatan ahli ilmu-ilmu sosial karena ”ilmu-ilmu sosial adalah tidak mungkin” sampai kepada rasa ngeri terhadap kegiatan ahli ilmu-ilmu sosial karena ” terlalu banyak pengetahuan sosial akan membahayakan manusia”. Pembahasan ini akan mencoba memberikan penilaian terhadap beberapa pokok permasalahan yang penting yang disuarakan oleh para kritikus yang ragu-ragu terhadap status keilmuan dari ilmu-ilmu sosial.
Di bandingkan denga ilmu-ilmu alam yang telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, ilmu-ilmu sosial agak tertinggal di belakang. Beberapa ahli bahkan berpendapat bahwa ilmu-ilmu sosial takkan pernah menjadi ilmu dalan artian yang sepenuhnya. Di pihak lain terdapat pendapat bahwa secara lambat laun ilmu-ilmu sosial akan berkembang juga miskipun tak akan mencapai derajat keilmuan seperti apa yang di capai ilmu-ilmu alam. Menurut kalangan lain adalah tak dapat di sangkal bahwa dewasa ini ilmu-ilmu sosial masih berada dalam tingkat yang belum dewasa. Walaupun begitu mereka berangapan bahwa penelitian-penelitian di bidang ini akan mencapai derajat keilmuan yang sama seperti apa yang di capai ilmu-ilmu alam. Terdapat beberapa kesulitan untuk merealisasikan tujuan ini karena beberapa sifat dari obyek yang di teliti ilmu-ilmu sosial. Seperti di ketahui ilmu-ilmu sosial mempelajari tingkah laku manusia.
Perbedaan-perbedaan mendasar antara lain:
Ilmu sosial itu mempelajari manusia dari segi hubungannya dengan manusia lain, dan sifatnya subjektif berdasarkan penafsiran, persepsi, generalisasi, asumsi dan sebagainya. Dalam ilmu sosial perkembangan dari masa ke masa cenderung dinamis karena adanya kasus-kasus baru ataupun faktor-faktor baru dari kasus- kasus lama.
Ilmu alam mempelajari alam dan unnsur-unsurnya dan ilmu alam lebih objektif, matematis, dan berdasarkan bukti-bukti impiris dan perhitungan. Kalau ilmu alam cenderung lambat , statis dan itu itu saja.
Perbedaan mendasarnya antara ilmu sosial dan alam,
Misalnya ;
Binatang punah kalau di tinjau dari ilmu sosial maka ini di sebabkan oleh ulah manusia, sedangkan ditinjau dari ilmu alam maka ini di sebabkan oleh akibat dari seleksi alam.
Banyak orang mengatakan bahwa ilmu alam berbeda dengan ilmu sosial. Perbedaannya terletak pada objek yang di kajinya. Ilmu alam mengkaji fenomena yang terjadi di alam ini, dan bagaimana hubungan manusia dengan lingkungannya. Makanya ilmu alam sering di sebut sebagai Science. Sedangkan ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan manusia dengan manusia dan berbagai macam interaksinya. Sehingga pendekatan yang diberikan dalam mempelakari masing-masing ilmu ini pun berbeda, karena objeknya yang berbeda tadi.
Ilmu alam sifatnya mutlak contohnya 2x2 = 4, sedangkan ilmu sosial sifatnya relatif misalnya 2x2 bisa jadi bukannya 4 tetapi bisa 5 ini hanya pengandaian saja.
E. PENDIDIKAN IPS DITENGAH DINAMIKA NASIONAL DAN GLOBAL
1. Aktualisasi Pendidikan IPS dalam Upaya Demokratisasi
Sejarah peradaban manusia mencatat adanya kecendrungan supaya demokratisasi dari zaman ke zaman dalam hampir seluruh bidang kehidupan di dunia, terutama di daerah jajahan. Upaya demokratisasi itu bukan hanya di bidang politik, melainkan juga dibidang ekonomi, sosial budaya, pendidikan, sistem sosial, agama dan sistem kepercayaan, dan lain sebagainya. Bergulirnya glasnost dan perestroika yang dicetuskan oleh Mikhail Gorbachev tahun 1980-an pada dasarnya telah mengakibatkan berdirinya negara-negara merdeka di bekas Uni Soviet akibat runtuhnya komunisme di Eropa.
Supremasi negara-negara Barat ini terus dikembangkan lewat bendera hak-hak asasi manusia, ekonomi pasar bebas, demokratisasi, dan lingkungan hidup – unsur-unsur yang menjadi kekuatan globalisasi sekarang ini. Alvin Toffler (1990) memperkirakan bahwa dalam 100 tahun mendatang, ”knowledge as power” akan tetap berjaya dalam suasana masih akan maraknya kemiskinan dan kekerasan.
Bangsa Indonesia telah mempunyai landasan dan cita-cita luhur yang tercantum dalam Pancasila, UUD 1945, dan GBHN, yang secara ideologis dan konsepsi telah mengoreksi kelemahan pelaksanaan cultural heritage (kebudayaan yang diwarisi) negara-negara Barat maupun negara-negara sosialis-komunis. Karena itu, upaya demokratisasi yang menjadi tujuan risalah ini menjadi sangat relevan, dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), penyempurnaan Sistem Pemilihan Umum, gagasan untuk mengurangi jumlah anggota Fraksi TNI di DPR, perluasan Otonomi Daerah Tingkat II, keterbukaan, kebebasan mimbar akademik, dan kebebasan pers yang bertanggung jawab adalah langkah-langkah untuk meningkatkan upaya demokratisasi, agar masyarakat luas dan lembaga politik, ekonomi, sosial budaya makin berkesempatan dan berani mengemukakan pendapat terhadap jalan pembangunan dan masalah yang dihadapinya.
Aktualisasi Pendidikan IPS ini akan lebih menekankan langkah stategis jangka panjang dalam ”laboratorium demokrasi” sebagai investasi sumber daya manusia (human investment) agar mutu generasi muda bangsa semakin meningkat dalam upaya demokratisasi untuk menghadapi masa mendatang yang akan penuh dengan masalah dan tantangan. Aktualisasi Pendidikan IPS tidak dimaksudkan untuk memecahkan masalah upaya demokratisasi dalam arti politik praktis difokuskan pada perkembangan akademiknya. Hal ini dimaksudkan agar Pendidikan IPS mampu melahirkan pikiran dan teori terbaiknya dalam upaya demokratisasi sebagai bagian untuk menjadikan ”Education as Power”.
Muatan Pendidikan IPS dan Upaya Demokratisasi
Aktualisasi Pendidikan IPS secara akademik mencakup perkembangan pengertian, isi, metode, dan evaluasi, agar Pendidikan IPS sebagai laboratorium demokrasi bisa berkembang sebagai upaya jangka panjang/strategis dalam upaya demokratisasi. Konsensus pimpinan FPIPS IKIP dan Jurusan Pendidikan IPS FKIP/STKIP se-Indonesia di IKIP Yogyakarta tahun 1991 merumuskan Pendidikan IPS sebagai matakuliah adalah ”seleksi bahan dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang benar-benar diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan”.
Berkaitan dengan upaya demokratisasi ini adalah model penyusun isi Pendidikan IPS. Theodore Kalsounis (1990:65) menyusun isi Pendidikan IPS sebaiknya memperhatikan bagan berikut ini :
Jadi sifat dari isi Pendidikan IPS harus merupakan kesatuan dari perkembangan kesatuan unsur kognitif, afektif, dan keterampilan.
Fakta dan konsep-konsep pada umumnya sudah tersedia pada masing-masing displin ilmu-ilmu sosial misalnya : ”demokrasi, hak asasi, kemakmuran, dan konsep kekuasaan”. Apa yang harus dibentuk oleh Pendidikan IPS dalam menyiapkan dan merencanakan isi pendidikan adalah sebuah generalisasi yang belum diuji tingkat kebenarannya. Bahan inilah yang akan dikaji dalam laboratorium demokrasi, sehingga akhirnya akan menjadi generalisasi yang sudah teruji tingkat kebenarannya. Begitulah seterusnya tugas rutin staf pengajar Pendidikan IPS.
Keterampilan Berpikir Dalam Pendidikan IPS
Bahan Pendidikan IPS yang secara akademis sudah siap untuk diluncurkan masih harus disiapkan sistem belajar dan mengajarnya dengan memperhatikan langkah ilmiah dan psikologis. Seperti digambarkan dalam model penyusunan isi Pendidikan IPS, salah satu unsurnya yang penting adalah keterampilan (skills). Skills ialah seperangkat jenis-jenis keterampilan dan dimensi berpikir serta keterampilan sosial dan berkomunikasi yang terdiri atas lima tingkat, yaitu; (a) menafsirkan, (b) menerapkan, (c) menganalisis, (d) mensintesiskan, dan (e) mengevaluasi.
Termasuk dalam mengembangkan keterampilan ini adalah masalah jenis dan dimensi dan potensi berpikir peserta didik mulai dari jenis dan mutu berpikir yang paling sederhana sampai berpikir yang cukup mendalam seperti reflective thinking dengan berbagai aneka ragam dimensi berpikir lainnya seperti (a) meta-cognition, (b) critical dan creative thinking, (c) thinking process, (d) core thinking skills, dan (e) the relationship of content area of knowledge to thinking.
Begitu kompleksnya jenis-jenis berpikir dalam proses pendidikan inilah mebuat guru dan ahli pendidikan pada umumnya kurang begitu tekun memahami, apalagi melaksanakannya dalam tugasnya sehari-hari memerlukan kesabaran dan ketekunan yang luar biasa. Kesabaran dan ketekunan ini dihadapkan pula pada masalah perbedaan individual (individual differences) dalam kelas Pendidikan IPS sebagai laboratorium demokrasi biasanya diidentifikasikan dalam tiga kelompok penduduk yaitu : (a) kelompok yang mempunyai sifat seperti ”batu” (stone citizen), (b) ”busa” (sponge citizen), dan (c) generator (generator citizen) (Clark, 1989 : dalam Numan Somantri : 184).
Kelompok ”batu” adalah peserta didik mahasiswa yang dihinggapi dengan sifat belajar pasif, yang sangat sukar sekali untuk menerima dan terlibat dalam proses berpikir, apalagi tergerak untuk berkomunikasi. Kelompok ”busa” agak mirip dengan kelompok ”batu”, tetapi mereka masih mau menerima masukan dari efektor. Kelompok ”generator citizen” yang mempunyai sifat mau menerima bahan pendidikan dan terampil berprakarsa, serta berkeinginan untuk berperan serta dalam kehidupan sosial. Dalam kaitan itulah gaya mengajar dan kepribadian guru harus dipertaruhkan, maka guru dan dosen dituntut untuk terus menekuni jatidiri Pendidikan IPS disertai dengan pemantapan dan pendalaman substansi Pendidikan IPS dengan pengabdian yang tinggi untuk terjadinya upaya demokratisasi sebagai human investment dan makin berkembangnya ”education as power”.
Kalau dikelompokkan, hambatan-hambatan meliputi hal-hal sebagai berikut : (a) hambatan mental, akademik, dan administratif terhadap kurikulum Pendidikan IPS dan pelaksanaannya; (b) hambatan resistensi pada pendekatan ekspositori; (c) hambatan resistensi pada belajar pasif; (d) hambatan sumber belajar yang kurang memasukkan partisipasi dan masalah-masalah sosial; dan (e) hambatan kultural. Hambatan berikutnya adalah resistensi pada pendekatan ekspositori yang masih dilakukan oleh guru pendekatan ekspositori seperti ceramah ini jelas bertentangan dengan kurikulum FPIPS.
Pendidikan IPS sebagai laboratorium demokrasi yang bisa dilakukan secara sederhana dan bertahap oleh setiap orang. Langkah-langkah tersebut diantaranya sebagai berikut :
• Jadikan setiap pokok bahasan menjadi generalisasi yang bermasalah;
• Ikuti langkah-langkah pendekatan pemecahan masalah dan dialog kreatif dalam mengkaji generalisasi;
• Upayakan kognitif, afektif, dan keterampilan dengan kriteria generator citizen.
2. Tantangan Pendidikan IPS dalam Memasuki Abad XXI
Pendidikan IPS perlu dikaji secara akademis, perlu mempunyai jati diri serta perlu selalu melihat dan menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat dan dunia. Karena ruang lingkup Pendidikan IPS menyangkut kegiatan dasar manusia, maka bahannya bukan hanya mencakup ilmu-ilmu sosial dan humaniora, melainkan juga segala gerak kegiatan dasar manusia seperti agama, sains, teknologi, seni dan sebagainya yang bisa memperkaya Pendidikan IPS.
Hambatan Keahlian dan Semangat Ilmiah
Penerapan jatidiri Pendidikan IPS yang diwadahi dalam primary structure, sehingga matakuliah bidang studi lainnya dibiarkan sebagaimana sekarang. Masalahnya matakuliah ini harus merekonstruksi dan menjalinkan kerjasama disiplin ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, kegiatan dasar manusia, dengan pendekatan inter-, cross-, dan trans- disipliner. Ketidak jelasan hubungan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan sifat Penelitian Pendidikan IPS menyebabkan adanya sikap apatis terhadap sikap ilmiah karena tidak jelasnya bidang keahlian. Hal ini terkait dengan pengertian jatidiri Pendidikan IPS yang belum memasyarakat di lingkungan FPIPS dan PPS yang menyebabkan semangat ilmiah masih lemah.
Hambatan Administrasi
Walaupun kurikulum FPIS sudah beberapa kali mengalami perubahan, tetapi pada dasarnya tidak ada perubahan yang prinsipil dan mendasar, karena tidak jelas dasar filosofisnya dan kurang sesuai dengan keperluan pembaharuan kurikulum FPIPS. Pembaharuan kurikulum selama ini hanya menambah dan mengurangi porsi matakuliah keguruan dan bidang studi. Sementara ini FPIPS ditambah dengan berbagai penugasan seperti program penyetaraan dan program diploma. Lagi pula belum pernah dilakukan evaluasi program terhadap kurikulum yang diperbaharui itu. Banyak ketentuan dari Ditjen Dikti dan Konsorsium Ilmu Pendidikan yang membikin fakultas sibuk, tetapi kenyataannya berjalan di tempat, sehingga hampir tidak ada perubahan mendasar secara kualitatif dan pedagogis. Keadaan inilah menyebabkan masyarakat ilmiah FPIPS kurang inisiatif dan kreatif dalam pembaharuan kurikulum, sehingga keahlian untuk mengadakan pembaharuan kurikulum yang tepat guna sesuai dengan misi dan tujuan IKIP sulit untuk dicapai.
Hambatan Penelitian
Penelitian di bidang Pendidikan IPS sudah cukup banyak dilakukan di lingkungan FPIPS dan tingkat Pascasarjana dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertasi. Namun masih sangat sedikit yang bisa dipertimbangkan kegunaannya untuk meningkatkan mutu. Hal ini dapat dimengerti karena tidak jelasnya kebijakan penelitian Pendidikan IPS sehingga penelitian hanya merupakan ”intellectual exercise” untuk masing-masing orang guna memenuhi persyaratan formal ujian akhir atau penyelesaian proyek penelitian. Karena itu, sudah waktunya setiap fakultas diberi atau ditugasi proyek penelitian Pendidikan Bidang Studi (Pendidikan IPS) dengan kategori ”hibah bersaing” yang secara eksplisit mampu menjabarkan jatidiri Pendidikan IPS, dilaksanakan oleh masyarakat ilmiah FPIPS-PPS dengan penuh tanggungjawab. Hasil penelitian itu bisa dimonitor kemajuan dan tingkat keberhasilannya. Hasil penelitian itu tepat untuk dibicarakan dalam pertemuan tahunan forum komunikasi FPIPS. Forum komunikasi semacam itu baru akan besar manfaatnya bagi perkembangan akademik Pendidikan IPS khusunya dan kurikulum FPIPS-PPS pada umumnya.
Tantangan Dinamika Masyarakat dan Globalisasi
Sementara FPIPS dan PPS masih membenahi kurikulum dan peningkatan mutu staf pengajarnya, dinamika masyarakat dan globalisasi sangat dirasakan terutama kepada bahan ajar yang selama ini terlalu menitikberatkan kepada teori-teori dan ”non-functional knowledge”. Isi bahan ajar praktis tidak dapat memperkaya atau menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat dan derasnya globalisasi dalam teori maupun gejala dan masalah-masalah kemasyarakatan yang berhubungan satu sama lain.
Menurut Alvin Tofler, dalam 100 tahun mendatang dunia akan tetap ditandai oleh masalah kemiskinan dan kekerasan Dunia Barat menandai masa mendatang itu dengan tampilnya isu-isu demokrasi, lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan ekonomi pasar bebas. Hal ini menuntut mata kuliah ilmu-ilmu sosial di FPIPS dan PPS untuk menata diri dengan perkembangan tersebut, baik yang terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri.
3. Strategi Pengembangan Pendidikan IPS dalam Mengantisipasi Masa Depan
Masyarakat maju dewasa ini dan mendatang pasti akan mengangkat berbagai isu dan kebutuhan, seperti masalah hak-hak asasi manusia, dampak perdagangan bebas, kejahatan, minuman keras, seks, dan berbagai patologi sosial lainnya. Abad yang akan datang masih akan diwarnai kemiskinan, kebodohan, dan tindak kekerasan. Begitu luas dan rumitnya rumitnya ruang lingkup Pendidikan IPS, sehingga pengembangannya dibagi ke dalam tiga sub tujuan, yaitu : (a) Pendidikan IPS sebagai Pendidikan Kewarganegaraan; (b) Pendidikan IPS sebagai ilmu yang konsep dan generalisasinya dalam disiplin ilmu-ilmu sosial; dan (c) sebagai ilmu yang menyerap bahan pendidikan dari kehidupan nyata dalam masyarakat kemudian dikaji secara reflektif (Skeel & Brubaker, 19995).
Berdasarkan bebagai masalah dan hambatan yang dihadapi oleh FIPS, maka perspektif aktualisasinya di antaranya sebagai berikut :
1. Untuk jangka panjang perlu ada panitia tetap Senat Fakultas dan Institut untuk mengkaji dan mengevaluasi pengembangan akademik Pendidikan IPS sebagaimana tercantum dalam struktur kurikulum FPIPS dan PPS untuk pendidikan bidang studi.
2. Pada dasarnya seluruh MKBS merujuk pada ”ide fundamental” disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang diperkaya dengan pengetahuan fungsional yang tumbuh dan diperlukan oleh masyarakat serta perkembangan IPOLEKSOSBUDHANKAM.
3. Staf pengajar dapat memulai upaya aktualisasi Pendidikan IPS melalui penyempurnaan pendekatan ekspositori menuju pendekatann inkuiri yang sesuai dengan kemampuannya.
4. Penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi hendaknya ada yang diarahkan untuk ikut memantapkan program dan perspektif aktualisasi Pendidikan IPS. Home base Kuliah Kerja Nyata hendaknya di sekolah untuk lebih mengkondisikan para mahasiswa calon guru dengan masalah pendidikan dengan tidak melupakan pengalaman bermasyarakat.
4. Pendidikan IPS Menghadapi Era Indonesia Baru
Agar sesuai dengan kecendrungan masyarakat pada Era Indonesia Baru, jelas kiranya bahan Pendidikan IPS banyak yang harus disesuaikan dengan indikator-indikator kehidupan pada era tersebut, terutama nilai-nilai demokrasi dan hukum, rule of law dan reformasi dalam segala bidang (IPOLEKSOSBUD) yang dalam zaman Orde Baru cenderung kurang kondusif untuk kehidupan demokrasi, hukum, politik, ekonomi, dan keadilan. Untuk memperbaharui dan menyiapkan bahan Pendidikan IPS pada Era Indonesia Baru, perlu dikembangkan pendekatan inter- dan cross-disipliner dalam menyusun matakuliah di FPIPS. Tujuannya ialah agar bahan pelajaran disajikan secara komprehensif dan menyentuh masalah-masalah sosial, dengan tidak mengabaikan cara berpikir ilmiah dan ruang lingkup disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Sebelum mengajar, kita dituntut untuk menyusun bahan pelajaran secara ilmiah dan psikologis. Bermacam-macam gaya mengajar kita tampilkan sesuai dengan keperluan, termasuk misalnya penggunaan cerita (narrative approach) disertai tanya-jawab yang sering kita anggap enteng itu. Sikap guru dan dosen dalam Era Indonesia Baru perlu diperhatikan untuk memupuk dan memperkuat rasa percaya diri komunitas Pendidikan IPS, mengingat adanya perubahan sistem nilai dalam dinamika masyarakat Indonesia Baru.
Sikap guru dan dosen Pendidikan IPS itu ialah : (a) bersikap propaganda yang didominasi oleh metode ceramah, (b) bersikap netral terhadap masalah dan perubahan yang sedang terjadi, dan (c) menambah pengetahuan yang luas disertai dedikasi untuk mencapai tujuan pendidikan. Sikap propagandis dan teknik ceramah mudah dilakukan, tetapi sebaiknya metode ini jagan terlalu banyak digunakan. Guru dan dosen mempunyai tugas edukatif, yaitu sebagai fasilitator agar siswa sampai kepada sikap dan kesimpulan yang terbaik melalui serangkaian dialog kreatf.
Guru dan dosen yang baik adalah yang berpengetahuan luas dan terbiasa dengan pendekatan lintas-sektoral atau inter-disipliner sehingga dapat disajikan bahan pelajaran yang berorientasi masalah. Selain itu, harus terbiasa menggunakan langkah pemecahan masalah melalui pendekatan inkuiri. Selain bersikap demokratis, dosen/guru harus mampu menciptakan kelas sebagai laboratorium demokrasi, supaya peserta didik terlatih dan terbiasa berbeda pendapat. Kebiasaan ini penting dikondisikan sejak di bangku sekolah/kuliah, agar ketika terjun ketengah masyarakat para peserta didik terbiasa berbeda pendapat jujur dan sportif dalam mengakui kekurangannya sendiri dan siap menerima pendapat orang lain yang lebih baik, serta mampu mencari pemecahan masalah secara elegan.
Hal yang perlu dihindari ialah bila perbedaan pendapat itu menjurus pada konflik yang bersifat intrapersonal yang dapat merugiakan kesehatan mental peserta didik. Perlu dicatat bahwa sekalipun benar sifat ilmu-ilmu sosial dengan segala permasalahannya itu kompleks, tetapi jangan lalu diangggap bahwa Pendidikan IPS itu Quo Vadis. Kalau kita memahami batasan akademik Pendidikan IPS serta menguasai berbagai cara menyusun dan menyajikan bahan pelajaran dengan baik, maka anggapan Quo Vadis Pendidikan IPS dalam menghadapi Era Indonesia Baru hanyalah berpangkal dari kekurangpahaman saja terhadap arti akademik Pendidikan IPS beserta metode mengajarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Somantri, Numan, (2001), Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Pascasarjana UPI dan Rosda Karya.
Supardan, Dadang. (2008). Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara
Suriasumantri, Jujun S. (2005). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
--------------------------- (2001). Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar