Music


09 Januari 2009

PENGARUH TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DALAM PENDIDIKAN (2)


D. Kekerasan
Tindak kekerasan tidak pernah diinginkan oleh siapapun, namun ternyata berbagai bentuk kekerasan sering dialami dan mewarnai kehidupan masyarakat baik di Indonesia maupun kekerasan di manca Negara bahkan kekerasan virtual pun mewarnai permainan anak-anak hingga dewasa. Hal ini tentu dapat mempengaruhi pemikiran dan tata nilai kepribadian bangsa .
Salah satu teori kekerasan dari Johan Galtung seorang kriminolog dari Norwegia adalah teori' "kekerasan struktural", merupakan teori yang bertalian dengan kekerasan yang paling menarik. Dalam pengulasan dan penganalisaan lebih lanjut, teori kekerasan struktural pada hakekatnya adalah teori kekerasan "sobural". Dengan "sobural" yang dimaksudkan adalah suatu akronim dari (nilai-nilai) sosial, (aspek) budaya, dan (faktor) struktural (masyarakat). Galtung (2003: 4)
Yang dimaksud dengan "kekerasan struktural" disini adalah kekerasan tidak langsung, yang bukan berasal dari orang tertentu, tetapi yang telah terbentuk dalam suatu sistem sosial tertentu. Jadi bila seseorang berkuasa atau memiliki harta kekayaan berlimpah, maka akan selalu ada kecenderungan untuk melakukan kekerasan, kecuali kalau ada hambatan yang jelas dan tegas.
Pada dasarnya hampir semua suku bangsa di Indonesia memiliki dan mempraktekkan "kekerasan struktural" melalui subkultur (kekerasan) masing-masing. Jadi manusia dengan pemilikan kekuasaan tak terbatas dan tak seimbang akan selalu cenderung melakukan kekerasan struktural. Dalam konteks yang demikian, melihat nilai-nilai sosial, aspek budaya dan faktor struktural masyarakat tertentu, teori kekerasan struktural adalah setali tiga uang dengan teori kekerasan "sobural". Dengan melakukan stigmatisasi dan kekuasaan yang tanpa check and balances, maka kekerasan struktural akan berkembang tanpa hambatan melanggar HAM, kecuali bila dihambat oleh rule of law, demokratisasi dalam suatu civil society. Galtung (2003: 4).
Menurut Jack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler (dari http://www.ditpertais.net/istiqro/ist02-03.asp) istilah kekerasan (violence) digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik secara terbuka (overt) maupun tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain.
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa indikator kekerasan:
1. Kekerasan terbuka yakni kekerasan yang dapat dilihat atau diamati secara langsung, seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, atau yang berkaitan dengan fisik.
2. Kekerasan tertutup yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung, seperti mengancam, intimidasi, atau simbol-simbol lain yang menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa takut atau tertekan. Ancaman dianggap sebagai bentuk kekerasan¸ sebab orang hanya mempercayai kebenaran ancaman dan kemampuan pengancam mewujudkan ancamannya.
3. Kekerasan agresif (offensive) yakni kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan atau bahkan pembunuhan. Indikator kekerasan ini sudah masuk prilaku kriminal, di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi menurut hukum tertentu.
4. Kekerasan defensif (defensive) yakni kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan, seperti barikade aparat untuk menahan aksi demo lainnya. Sengketa tanah warga dengan pihak sekolah, merupakan contoh yang relevan.
O’Moore dalam (http://www.comune.torino.it/newviolencedefinition.htm) mendefinisikan kekerasan sebagai perilaku agresif berupa kekerasan fisik, seksual dan emosi . Individu atau kelompok yang menyerang satu sama lain, termasuk sebagai suatu perilaku agresif. Perilaku agresif yang dilakukan secara fisik adalah situasi dimana seorang anak, remaja atau suatu kelompok secara langsung atau tidak langsung mengancam, melukai atau bahkan melakukan pembunuhan pada seorang anak, remaja atau kelompok lainnya.
Terdapat empat landasan teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku kekerasan itu, sumber (http://puspek-averroes.org/2008/02/20/melacak-akar-kekerasan/.) yakni:
1. Arouzal theory, Teori "orouzal" sesungguhnya dapat menjelaskan dirinya sendiri dari kasus-kasus penayangan kekerasan di media. Teori ini dikembangkan oleh Tannenbaum (1975). Ia menjelaskan bahwa penayangan perilaku kekerasan di TV dapat membentuk perilaku agresif karena kekerasan menimbulkan exiting yang mendorong keterlibatan emosional pemirsa. Perasaan itu senantiasa memberi dorongan yang kuat untuk mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. The sociallearninng theory, Selanjutnya the social-learning theory oleh
Bandura (1973) menjelaskan pula bahwa cara kita berperilaku sangat dipengaruhi oleh pengamatan kita terhadap orang lain. Dengan cara itulah anak mendapatkan atau meniru perilaku baru yang bersumber dari luar. Nilai-nilai itu diterima sebagai simbol yang memberi kesan adanya status sosial baru baginya.
3. The disinhibition hypothesis, Sedangkan 'disinhibition hypothesis" menjelaskan investigasi yang telah dilakukan oleh Berkowitz (1962). Hipotesis ini menjelaskan bahwa kekerasan di TV dalam keadaan tertentu akan mendorong perilaku agresif seseorang dalam melakukan hubungan antarperibadi. Penyebabnya, kemampuan yang ada pada diri individu untuk mencegah dorongan agresivitas itu semakin berkurang. Akibatnya terjadilah ketidakseimbangan yang menyebabkan perilaku yang tidak terkontrol itu.
4. The catharsis theory. Terakhir adalah teori "catharsis theory".
Teori ini menjelaskan bahwa perasaan terharu dan simpati yang dalam dari diri setiap orang dapat muncul akibat penyangan suatu peristiwa di TV. Pemirsa secara psikologis dapat terbawa oleh suatu romantisme di bawah sadar terhadap suatu I penayangan di TV meski disadari bahwa hal itu 100% hanyalah fiksi. Pengaruh bawah sadar itu sesungguhnya disadari akibatnya (unconsciousness awareness) bahwa seseorang akan kehilangan kreativitas, daya juang, untuk berbicara dengan dunia realitas apabila telalu banyak menghabiskan waktu menonton penayangan film kekerasan di TV.
5. Teori Imitasi berpendapat sebaliknya. Pengikut teori ini berpendapat
bahwa kekerasan dalam TV/film mendorong tumbuhnya keinginan untuk meniru. Bantingan tipuan spt dalam Smack Down, tindakan sadis oleh para tokoh pujaan, pembunuhan, dll, akan menjadi pendorong bagi penontonnya untuk melakukan tindakan yang sama dalam kehidupan real sehari-hari. Padahal di dalam film hanyalah fiksi.

Mana efek dominan dan mana yang membahayakan? Nampaknya efek katharsis tidak begitu terekspos keluar, sehingga juga sulit dideteksi secara kasat mata. Efek katharsis mungkin lebih dominan diperoleh oleh orang yang sudah lebih dewasa. Sebaliknya efek imitasi lebih kentara, karena selain merubah perilaku anak/remaja, juga membawa efek negatif bagi lingkungan sekitarnya. Salah satu contoh kasus adalah sampai meninggalnya seorang anak di Bandung akibat di “smack down” sama teman-temannya, sebagaimana diberitakan beberapa waktu lalu. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa tidak mudah mengatakan efek mana yang dominan ditimbulkan oleh acara kekerasan di TV/film, namun bisa dikatakan bahwa efek imitasi lebih membahayakan bagi anak-anak/remaja.

Sekitar 30% dari 73% film kekerasan yang ditayangkan di TV memperlihatkan penggunaan untuk membunuh dan menyiksa lawannya. Kekejaman seperti telah dengan sendirinya mewarnai alam pikiran pemirsa yang masih belum dewasa itu. Namun seiring dengan perkembangan teknologi dan kemunculan media baru, yaitu komputer dan internet. Teori baru muncul terkait dengan penggunaan jaringan computer sebagai medium tengah antara sumber dengan penerima yang merupakan pengguna teknologi yang dihasilkan oleh internet dan computer. Teori ini disebut Computer-Mediated Communication dengan Penggunaan komputer terutama game yang mengandung kekerasan akan memberikan efek yang sama dengan terpaan kekerasan yang ditampilkan di televisi. Hal ini akan membuat anak tidak dapat membedakan antara dunia nyata dan maya sehingga kekerasan dapat dipraktikkan dan menjadi hal yang biasa dalam kehidupannya sehari-hari.
(Sumber :http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&dn=20061210041211)

E. Kekerasan Dalam Pendidikan
Fenomena kekerasan dalam lembaga pendidikan sekolah memberikan gambaran bahwa kita sebagai bangsa sungguh lemah dalam mengendalikan emosi. Bangsa ini tumbuh tidak hanya menjadi bangsa yang miskin pengetahuan tetapi juga mengalami kemerosotan nilai-nilai moral. Kita kehilangan kepekaan terhadap sesama, kasih sayang, penghargaan, dan budaya malu. Nilai-nilai kemanusian kita hilang, sebaliknya yang tumbuh adalah jiwa dan watak yang keras. Permusuhan tumbuh subur dan melembaga. Mereka mungkin juga lupa bahwa kita adalah manusia yang hadir dengan aneka perbedaan, bermacam-macam warna, dan banyak kepentingan. Beberapa kajjian analisis tentang kekerasan adalah sebagai berikut : (sumber: http://www.ditpertais.net/istiqro/ist02-03.asp)
1. Fenomena Kekerasan Dalam Pendidikan, munculnya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik. Jadi, ada pihak yang melanggar dan pihak yang memberi sanksi. Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka terjadilah apa yang disebut dengan tindak kekerasan. Tawuran antarpelajar atau mahasiswa merupakan contoh kekerasan ini. Selain itu, kekerasan dalam pendidikan tidak selamanya fisik, melainkan bisa berbentuk pelanggaran atas kode etik dan tata tertib sekolah. Misalnya, siswa membolos sekolah dan pergi jalan-jalan ke tempat hiburan.
2. Kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikukum yang hanya mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan
3. Kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini kian vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan.
4. Kekerasan bisa merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat, sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant solution maupun jalan pintas.
5. Kekerasan dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku.
Untuk memotret persoalan ini, perlu ditelaah terlebih dahulu kondisi pendidikan dewasa ini, yakni kondisi internal dan kondisi eksternal. Kondisi internal merupakan faktor internal yang berpengaruh langsung bagi perilaku para pelajar/ mahasiswa beserta pendidiknya, termasuk perilaku kekerasan. Sedangkan kondisi eksternal adalah kondisi non-pendidikan yang merupakan faktor tidak langsung bagi timbulnya potensi kekerasan dalam pendidikan.
Ada sejumlah problem sosial yang melatarbelakangi seringnya terjadi tindakan kekerasan dewasa ini.
1. Aksi kekerasan pelajar merupakan refleksi kehidupan sosial bangsa saat ini. Bukankah konflik terus berkecamuk dalam keseharian kita. Konflik antar anggota masyarakat maupun konflik antar elit politik. Hampir setiap saat kita disuguhi pengalaman hidup yang mengerikan seperti merusak ataupun membakar. Masyarakat kita, termasuk pelajar tumbuh dalam arena kekerasan. Akibatnya, mereka cenderung menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan permasalahannya.
2. Kegagalan institusi pendidikan membentuk generasi yang berakhlak mulia. Keluarga, sekolah, dan masyarakat sebagai instituĂ­s pendidikan memegang peranan untuk menciptakan generasi yang memiliki “kecerdasan social” (social intelligence). Kecerdasan sosial dalam arti kemampuan untuk membawa diri dalam lingkungan pergaulan yang luas, menjalin interaksi secara komunikatif, memahami adanya perbedaan, dan memiliki rasa peka terhadap sesama
3. Merosotnya nilai-nilai kemanusian. Kekerasan mengindikasikan menurunnya pemahaman akan nilai-nilai kemanusian dalam diri masyarakat. Perasaan halus, keluhuran budi, dan kesantuan dikuasai oleh nafsu dan emosi. Keterasingan dari nilai kemanusian menyebabkan susahnya melahirkan solidaritas dan relationship yang kokoh. Padahal, menurut Dr. Sastraprateja pendidikan merupakan usaha untuk membangun power with (kekuatan bersama), yaitu kemampuan peserta didik membangun solidaritas atas dasar komitmen pada tujuan yang sama untuk memecahkan permasalahan.
Aksi kekerasan oleh pelajar (baca; siswa dan mahasiswa) telah menimbulkan kerugian yang besar. Bukan hanya materi yang hilang, nyawa pun melayang. Fenomena menyimpang ini membuat kita resah sekaligus bertanya-tanya. Masalah apa gerangan yang membuat anak-anak bangsa yang mengaku agen perubahan menjadi ganas dan beringas? Bukankah setiap saat mereka belajar nilai-nilai moral dan religius? Bukankah mereka juga yang menyebut dirinya sebagai generasi masa depan bangsa? Kekerasan di lembaga pendidikan bisa terjadi karena banyak alasan. Tetapi, di Indonesia, kekerasan pelajar terjadi karena perselingkuhan antara sistem pendidikan dan kultur sosial yang menghasilkan generasi muda sakit jiwa.

Sistem pendidikan kita telah meminggirkan orang miskin atas akses pendidikan. Sedangkan kultur sosial mengajarkan gaya hidup yang mendasarkan diri pada kekayaan dan kekuasaan.
Kekerasan di lembaga pendidikan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Akar masalahnya harus segera ditemukan untuk dijadikan brainstorming dalam rangka mencari pemecahan masalah. Ironisnya, hingga kini pemerintah belum dapat mengatasi kekerasan pelajar ini. Padahal, Dinas Pendidikan Jakarta sudah mengambil beberapa strategi untuk mengatasi tawuran ini seperti memetakan sekolah yang rawan tawuran sehingga ditemukan sebanyak 137 sekolah bermasalah. Selain itu, mengidentifikasi simpul rawan tawuran. Dari hasil penyelidikan ditemukan 50 simpul yang menjadi ajang tawuran. Namun demikian, usaha tersebut tak juga dapat meredam aksi tawuran, malah sebaliknya bertambah marak. Menurut Hasballah M. Saad yang juga mantan Menteri Hak Asasi Manusia pada era Pemerintah Abdurrahman Wahid, perkelahian pelajar sebenarnya bersumber pada kegagalan mengelola hasil kolaborasi antara kecenderungan agresivitas remaja dengan lingkungan, orangtua, dan konsep diri. (Hasballah M. Saad, 2003: 49-53)
Menurut Hasballah M. Saad yang juga mantan Menteri Hak Asasi Manusia pada era Pemerintah Abdurrahman Wahid, perkelahian pelajar sebenarnya bersumber pada kegagalan mengelola hasil kolaborasi antara kecenderungan agresivitas remaja dengan lingkungan, orangtua, dan konsep diri. (Hasballah M. Saad, 2003: 49-53)
Kondisi lingkungan tempat tinggl yang tidak berkualitas, tidak nyaman dan tidak layak, akan mempengaruhi remaja dalam menyikapi dan membangun hubungan dengan dunia sekitarnya.
Konsep diri remaja juga sangat menentukan. Remaja yang mempunyai konsep diri positif, cenderung bersikap optimistis dan percaya diri. Sebaliknya, remaja yang mempunyai konsep diri negatif akan bersikap rendah diri, pesimistis, minder, dan menarik diri dari lingkungan atau komunitasnya. Konsep diri memiliki beberapa indikator yaitu dimensi pengetahuan diri, harapan pada diri, dan evaluasi pada diri. Secara teori, agresivitas remaja akan mengarah ke tingkat destruktif bila kualitas lingkungan, kualitas hubungan orangtua, dan konsep diri semuanya negatif.
Teori yang dikembangkan oleh E. Suthedand yang didasarkan pada arti penting proses belajar. Menurut Sutherland perilaku menyimpang yang dilakukan remaja sesungguhnya merupakan sesuatu yang dapat dipelajari. Asumsi yang melandasinya adalah 'acriminal act occurs when situation apropriate for it, as defined by the person,is present' (Rose Gialombardo; 1972). Selanjutnya menurut Sutherland perilakumenyimpang dapat ditinjau melalui sejumlah proposisi guna mencari akarpermasalahan dan memahami dinamika perkembangan perilaku. Proposisi tersebutantara lain: Pertama, perilaku remaja merupakan perilaku yang dipelajari secaranegatif dan berarti perilaku tersebut tidak diwarisi (genetik). Kedua, perilaku menyimpang yang dilakukan remaja dipelajari melaluiproses interaksi dengan orang lain dan proses komunikasi dapat berlangsung secara lisan dan melalui bahasa isyarat. Ketiga, proses mempelajari perilaku biasanya terjadi pada kelompok dengan pergaulan yang sangat akrab. Remaja dalampencarian status senantiasa dalam situasi ketidaksesuaian baik secara biologismaupun psikologis. Keempat,apabila perilaku menyimpang remaja dapat dipelajari maka yang dipelajarimeliputi: teknik melakukannya, motif atau dorangan serta alasan pembenartermasuk sikap. Kelima, arah dan motif serta dorongan dipelajari melalui definisi dari peraturan hukum. Keenam, seseorang menjadidelinkuen karena ekses dari pola pikir yang lebih memandang aturan hukumsebagai pemberi peluang dilakukannya penyimpangan daripada melihat hukumsebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi. Ketujuh, diferentialassociation bervariasi dalam hal frekuensi, jangka waktu, prioritas danintensitasnya. Delapan, proses mempelajari perilaku menyimpang yang dilakukanremaja menyangkut seluruh mekanisme yang lazim terjadi dalam proses belajar.Terdapat stimulus-stimulus seperti: keluarga yang kacau, depresi, dianggapberani oleh teman dan sebagainya merupakan sejumlah eleman yang memperkuatrespon. Sembilan, perilaku menyimpang yang dilakukan remaja merupakanpernyataan akan kebutuhan dan dianggap sebagai nilai yang umum.
Paolo Freire, tokoh pendidikan masyarakat marjinal mengatakan bahwa inti pendidikan adalah penyadaran diri peserta didik kepada dirinya sendiri, orang lain, dan masyarakat. Sebuah konsep pendidikan yang ideal dan sangat menyejukkan. Jika gagasan Freire ini dapat terwujud dari proses pendidikan kita, maka kehidupan bangsa ini insya Allah akan menjadi indah. Kekerasan di lembaga pendidikan merupakan refleksi ketidakmampuan generasi kita untuk menyadari dirinya dan memahami orang lain. Egoisme untuk selalu “dipahami” lebih dominan ketimbang ketulusan untuk “menyadari” keberadaan dan kebutuhan orang lain. Kesadaran untuk “mengerti” tenggelam oleh keinginan untuk selalu “dimengerti”.

F. PERAN KELUARGA, SEKOLAH DAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI KEKERASAN DAN PORNOGRAFI
Masalah kekerasan baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun lembaga pendidikan dewasa ini merupakan masalah sosial. Oleh karena itu, penyelesainnya harus dikembalikan kepada lembaga yang memegang “tanggung jawab sosial”. Keluarga, sekolah, dan masyarakat harus memegang peranan aktif. Keluarga sebagai institusi pendidikan yang pertama dan utama harus mampu mendidik anak-anak menjadi pribadi yang berbudi pekerti luhur. Pola asuh orang tua dengan pendekatan kasih sayang harus mampu mengajarkan cara hidup bersama (life together). (Soerjono Soekanto, 2004:1)
1. Peran Keluarga
Dalam setiap masyarakat manusia, pasti akan dijumpai keluarga batih ("nuclear family"). Keluarga batih tersebut merupakan kelompok sosial kecil yang terdiri dari suami, istri beserta anak-anaknya yang belum menikah. Keluarga batih tersebut lazimnya jugs disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dan proses pergaulan hidup.
Suatu keluarga batih dianggap sebagai suatu sistem sosial, oleh karena memiliki unsur-unsur sistem sosial yang pads pokoknya men¬cakup kepercayaan, perasaan, tujuan, kaidah-kaidah, kedudukan dan peranan, tingkatan atau jenjang, sanksi, kekuasaan, dan fasilitas. Kalau unsur-unsur itu diterapkan pads keluarga batih, maka akan ditemui keadaan sebagai berikut:
1. Adanya kepercayaan bahwa terbentuknya keluarga batih merupakan suatu kodrat yang Maha Pencipta.
2. Adanya perasaan-perasaan tertentu pada diri anggota-anggota keluarga batih yang mungkin berwujud rasa saling mencintai, saling menghargai, atau rasa saling bersaing.
3. Tujuan, yaitu bahwa keluarga batih merupakan suatu wadah di mana manusia mengalami proses sosialisasi, serta mendapatkan suatu jaminan akan ketenteraman jiwanya.
4. Setiap keluarga batih senantiasa diatur oleh kaidah-kaidah yang mengatur timbal balik antara anggota-anggotanya, maupun dengan pihak-pihak luar keluarga batih yang bersangkutam
5. Keluarga batih maupun anggota-anggotanya mempunyai kedudukan dan peranan tertentu dalam masyarakat.
6. Anggota-anggota keluarga batih, misalnya, suami dan istri sebagai ayah dan ibu, mempunyai kekuasaan yang menjadi salah satu dasar bagi pengawasan proses hubungan kekeluargaan.
7. Masing-masing anggota keluarga batih mempunyai posisi sosial tertentu dalam hubungan kekeluargaan, kekerabatan maupun dengan pihak luar.
8. Lazimnya sanksi-sanksi positif maupun negatif diterapkan dalam keluarga tersebut, bagi mereka yang patuh serta terhadap mereka yang menyeleweng.
9. Fasilitas untuk mencapai tujuan berkeluarga biasanya jugs ada, misalnya, sarana-sarana untuk mengadakan proses sosialisasi.

Dengan demikian, maka suatu keluarga batih pada dasamya mempunyai fungsi-fungsi, sebagai berikut: (Soerjono Soekanto, 2004:2)
1. Unit terkecil dalam masyarakat yang mengatur hubungan seksual yang sayogya.
2. Wadah tempat berlangsungnya sosialisasi, yakni proses di mana anggota-anggota masyarakat yang barn mendapatkan pendidikan untuk mengenal, memahami, mentaati dan menghargai kaidah¬kaidah serta nilai-nilai berlaku.
3. Unit terkecil dalam masyarakat yang memenuhi kebutuhan-kebu¬tuhan ekonomis.
4. Unit terkecil dalam masyarakat tempat anggota-anggotanya men¬dapatkan perlindungan bagi ketentraman dan perkembangan jiwanya.
Fungsi-fungsi tersebut paling sedikit mengakibatkan kon¬sekuensi-konsekuensi tertentu, misalnya, pada pihak orang tua yang terdiri dari suami/ayah dan istri/ibu. Hal-hal itu terutama terarah kepada anak-anak, di samping pihak-pihak lain. Anak-anak itu yang kelak akan menggantikan kedudukan dan peranan orang tuanya, oleh karena la¬zimnya mereka juga akan berkeluarga.

2. Sekolah
Sekolah sebagai institusi pendidikan formal dituntut tanggap dan cekatan dalam melakukan redefinisi pembelajaran nilai-nilai moral dan religius. Ruang-ruangan kelas harus dijadikan sebagai laboratorium penerapan nilai humanisme. Pendidikan moral bukan hanya sebagai rutinitas dan pemenuhan kewajiban kurikulum. Pembelajaran moral dan religius harus menanamkan kesadaran untuk menghargai keberadaan dan keunikan, menumbuhkan sikap toleransi, kompromi, sikap akomodatif, dan negosiasi. Dari sisi religius, pemahaman tentang agama tidak hanya dimaknai sebagai ritual belaka, tetapi nilai-nilai agama harus dapat diimpelementasikan dalam realitas kehidupan. Dalam hal ini, Syafii Marief menggunakan istilah “kesalehan sosial” untuk memberi makna yang lebih dalam.

3. Masyarakat
Memahami masa remaja yang rentan dalam perubahan lingkungan Secara sosiologis, remaja umumnya memang amat rentan terhadap pengaruh-pengaruheksternal. Karena proses pencarian jati diri, mereka mudah sekaliterombang-ambing, dan masih merasa sulit menentukan tokoh panutannya. Merekajuga mudah terpengaruh oleh gayahidup masyarakat di sekitarnya. Karena kondisi kejiwaan yang labil, remajamudah terpengaruh dan labil. Mereka cenderung mengambil jalan pintas dan tidakmau pusing-pusing memikirkan dampak negatifnya. Di berbagai komunitas dan kotabesar yang metropolitan, jangan heran jika hura-hura, seks bebas, menghisapganja dan zat adiktif lainnya cenderung mudah menggoda para remaja. Siapakahyang harus dipersalahkan tatkala kita menjumpai remaja yang terperosok padaperilaku yang menyimpang dan melanggar hukum atau paling tidak melanggar tatatertib yang berlaku di masyarakat? Dalam hal ini, ada sejumlah pandangan dan teori yang dapat digunakan untuk memahami kehidupan remaja.

G. Penutup

Manusia diciptakan oleh Allah dengan naluri kecintaan kepada harta, kecintaan lelaki kepada wanita, dan sebaliknya, seperti diisyaratkan dalam QS. Ali Imran:14. Manusia juga ditakdirkan punya musuh yang sangat berbahaya yang akan menjerumuskannya ke lembah kehinaan dan kenistaan, baik di dunia terutama di akhirat, yakni syetan atau iblis, syetan berusaha menggunakan harta dan wanita sebagai alat memenuhi target dan obsesinya memperbanyak teman di neraka kelak.
Untuk mencegah munculnya dampak buruk dari peran media komunikasi dan informasi berupa pornografi, pornoaksi dan kekerasan sebagai manusia beragama menghendaki agar individu memiliki kesholehan pribadi, demikian juga dengan rumah tangga agar menjadikan agama sebagai sumber yang memadai untuk menyelesaikan perkara seksual dan bagaimana memenuhi kebutuhan seksual dengan ketentuan syareat. Sementara di sisi masyarakat dan negara berkewajiban untuk melindungi jerih payah pendidikan orang tua melalui penerapan hukum dan pembangunan sosial yang mampu memenuhi fithrah manusia dan mengarahkan manusia untuk hidup bermakna dan beorientasi pada kebenaran moral agama.



DAFTAR PUSTAKA


Bungin, Burhan. 2003. Pornornedial Konstruksi Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks di Media Massa, Bogor: Kencana

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indo¬nesia, Komus Besar Bahasa Indonesia, Cet. 3, Jakarta: Balai Pustaka

Djaelani, Abdul Qadir. 2006. Pornografi Pornoaksi Prostitusi Strategi Barat Untuk Menghancurklan Generasi Muda Islam

Galtung, Johan. 2003. Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban. Surabaya: Pustaka Eureka.

Muntaqo, Lutfan. 2006. Porno (Definisi dan Kontroversi). Yogyakarta: Jagad Pustaka

M. Saad, Hasballah. 2003. Perkelahian Pelajar (Potret Siswa SMU di DKI Jakarta). Jakarta: Galang Press

Ranuhandoko, I.PM. 1996. Terminologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika,

Salmi, Jamil. 2003. Kekerasan dan Kapitalisme. Terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Siregar, Ashadi. 2001. Menyingkap Media Penyiaran: Membaca Televisi, Melihat Radio, Yogyakarta: LP3Y

Soekanto, Soerjono. 2004. Sosiologi KeluargaTentang Ikhwal Keluarga, Remaja, Dan Anak. Jakarta: PT Rineka Cipta

Umar Sa'abah, Marzuki. 2001. Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam, Yogyakarta: U11 Press

Zubaedah, Neng. 2003. Pornografi don Pornooksi Ditinjau dari Hukum Islam, Jakarta: Kencana



Internet

O’Moore, M., “Defining Violence: Towards a Pupil Based Definitions” http://www.comune.torino.it/newviolencedefinition.htm

http://sultanhabnoer.wordpress.com/2007/07/03/kekerasan-di-lembaga-pendidikan-sebagai-bagian-problem-sosial/

http://www.ditpertais.net/istiqro/ist02-03.asp

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&dn=20061210041211

http://puspek-averroes.org/2008/02/20/melacak-akar-kekerasan/

http://dessynataliani.blogsome.com/2006/05/21/memutus-rantai-kekerasan-antar-elajar-membanding-indonesia-dan-belanda-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar