Music


09 Januari 2009

PENGARUH TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DALAM PENDIDIKAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya, dalam hal ini hubungan manusia saling keterikatan, saling membutuhkan dan saling mempengaruhi. Pembangunan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi jelas sangat mempengaruhi perilaku sosial masyarakat. Manusia yang tidak terlepas dari perkembangan teknologi mulai dari yang sederhana hingga teknologi mutakhir. Sebagai hasil penciptaan manusia, teknologi berfungsi untuk mempermudah kehidupan, namun ternyata dalam perkembangannya harus menghadapi dampak-dampak yang ditimbulkan oleh teknlogi karya cipta manusia itu sendiri.
Perkembangan dan pembangunan dari teknologi komunikasi dan informasi yang pada saat ini telah begitu menyebar dan berkembang pesat , tidak hanya menyebar di dalam negeri saja (lokal) tetapi telah menyebar secara global (internasional). Perkembangan arus komunikasi dan informasi ini banyak sekali manfaatnya bagi percepatan peningkatan ilmu pengetahuan pada masyarakat luas, namun selain manfaat masyarakat pun harus berhadapan dengan dampak negative atas hadirnya teknologi komunikasi dan informasi. Berbagai bentuk informasi yang dengan mudahnya diterima oleh masyarakat melalui media cetak dan audio visual telah mewarni kehidupan masyarakat yang pluralistik.
Dampak dari perubahan social yang terjadi pada lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat tempat tinggal, masyarakat sekolah, bahkan lingkungan dunia menyebabkan berbagai masalah perilaku social baik terutama pada generasi muda. Generasi remaja yang paling rentan terhadap perubahan perilaku ini dapat dengan mudahnya melakukan aksi kekerasan, pornoaksi, pornografi bahkan prostitusi baik karena peniruan atau pun bukan. Kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini baik dalam bentuk kriminalitas atau kerusuhan di pelbagai kawasan di Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, merupakan suatu indikasi bahwa kebudayaan damai dan iklim solidaritas masyarakat Indonesia yang kuat belum tercipta.
Kekerasan dalam berbagai bentuk, menjadi motif sebagian perilaku budaya masyarakat Indonesia hingga kini merupakan mainstream yang mereduksi tata nilai kepribadian bangsa dan memberikan kesan betapa iklim solidaritas manusia Indonesia belum sepenuhnya mampu memiliki kepribadian mawas diri secara politis, ekonomis dan sosial (Maghfur, 2000).

B. Remaja dan Ciri-cirinya
Golongan remaja muda adalah para gadis berusia 13 sampai 17 tahun. Inipun sangat tergantung pada kematangannya secara seksual, sehingga penyimpangan-penyimpangan secara kasuistis pasti ada. Bagi laki-laki yang disebut remaja muda berusia dari 14 tahun sampai 17 tahun (Soerjono Seokanto, 2004:51).
Apabila remaja muda sudah menginjak usia 17 tahun sampai 18 tahun, mereka lazim disebut golongan muda atau pemuda-pemudi. Sikap tindak mereka rata-rata sudah mendekati pola sikap-tindak orang dewasa, walaupun dari sudut perkembangan mental belum sepenuhnya demikian. Biasanya mereka berharap agar dianggap dewasa oleh masyarakat.
Dari sudut batas usia saja sudah tampak bahwa golongan remaja sebenarnya tergolong kalangan yang transisional. Artinya, keremajaan merupakan gejala sosiall yang bersifat sementara, oleh karena berada antara usia kanak-kanak dengan usia dewasa. Sifat sementara dari kedudukannya mengakibatkan remaja masih mencari identitasnya, karena oleh anak-anak mereka sudah dianggap dewasa, sedangkan orang dewasa mereka masih dianggap kecil.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dari sudut kepribadian¬nya, maka para remaja mempunyai berbagai ciri tertentu, baik yang bersifat spiritual maupun badaniah. Contoh ciri-ciri itu menurut Soerjono Seokanto (2004:52) adalah, sebagai berikut:
1. Perkembangan fisik yang pesat, sehingga ciri-ciri fisik sebagai laki¬-laki atau wanita tampak semakin tegas, halmana secara efektif ditonjolkan oleh para remaja, sehingga perhatian terhadap jenis kelamin lain semakin meningkat. Oleh remaja perkembangan fisik yang baik dianggap sebagai salah satu kebanggaan.
2. Keinginan yang kuat untuk mengadakan interaksi sosial dengan kalangan yang lebih dewasa atau yang dianggap lebih matang pribadinya. Kadang-kadang diharapkan bahwa interaksi sosial itu mengakibatkan masyarakat menganggap remaja sudah dewasa.
3. Keinginan yang kuat untuk mendapatkan kepercayaan dari kalangan dewasa, walaupun mengenai masalah tanggung jawab secara relatif belum matang.
4. Mulai memikirkan kehidupan secara mandiri, baik secara sosial, ekonomis maupun politic, dengan mengutamakan kebebasan dari pengawasan yang terlalu ketat oleh orang tua atau sekolah.
5. Adanya perkembangan taraf intelektualitas (dalam arti netral) untuk mendapatkan identitas diri.
6. Menginginkan sistem kaidah dan nilai yang serasi dengan kebutuhan atau keinginannya, yang tidak selalu sama dengan sistem kaidah dan nilai yang dianut oleh orang dewasa.
Contoh ciri-ciri tersebut di atas sebenamya merupakan harapan-¬harapan yang ada pada kalangan remaja. Oleh karena mereka masih belum mantap identitasnya, maka dengan sendirinya diperlukan pa¬nutan untuk membimbing mereka untuk mencapai cita-cita atau me¬menuhi harapan-harapan. Bimbingan diperlukan, oleh karena untuk mencapai cita-citanya kadang-kadang kalangan remaja melakukan hal¬hal yang oleh kalangan dewasa dianggap "aneh", misalnya:
1. Kalangan remaja berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan situasi, akan tetapi dengan cara-caranya sendiri. Kalau hal itu terca¬pai, maka mereka merasakan adanya suatu kebahagiaan.
2. Pola sikap tindak yang diakui dan dihargai oleh sesama remaja (biasanya dalam kelompok sepermainan atau. "peer-group") di¬anggap sebagai suatu pengakuan terhadap superioritas. Pengakuan terhadap eksistensi sangat dipentingkm oleh para remaja.
3. Berbagai saluran rasa ketegangan diciptakan oleh kalangan remaja, misalnya, membunyikan radio atau tape-recorder keras-keras, ter¬tawa terbahak-bahak (terhadap lelucon yan agak "konyol"), ber¬gadang dengan teman-teman, mengemudikan kendaraan bermotor dengan melanggar aturan lalu lintas, dan lain sebagainya.
4. Mencoba membuat ciri identitas sendiri, misalnya, mengembangkan bahasa khusus yang sulit dimengerti oleh kalangan bukan remaja. Kadang-kadang mereka berusaha menciptakan kebudayaan khusus melalui pola perilaku tertentu yang tidak sama dengan orang dewasa.

Hal-hal tersebut di alas memang merupakan suatu gejala yang pasti timbul pada kebanyakan remaja. Yang diperlukan untuk mencegah efek negatifnya adalah suatu bimbingan (bukan indoktrinasi). Bimbingan itupun seharusnya dilakukan secara persuasif, oleh karena periode keremajaan dihiasi oleh faktor-faktor emosional yang sangat kuat. Tanpa adanya bimbingan yang benar, akan terjadi kesulitan pada hubungan-hubungan, dengan orang tua, kerabat, tetangga, guru-guru di sekolah, dan seterusnya. Para remaja biasanya, mengharapkan bim-bingan itu datang dari orang tuanya sendiri, yang diharapkan menjadi tokoh panutan atau tokoh ideal baginya. Kalau harapan itu tidak terpenuhi, maka akan tejadi frustrasi, (Soerjono Seokanto, 2004) yang mungkin mengakibatkan. tejadinya:
1. Sikap agresif.
2. Mencari-cari kambing hitam yang sebenamya merupakan korban yang tidak bersalah.
3. Mengundurkan diri, misalnya, banyak berangan-angan atau melamun.
4. Regresi, yakni melakukan hal-hal yang dimasa lampau memuaskan dirinya.
5. Mengurangi aspirasi atau sebaliknya.

C. Pornografi dan Pornoaksi
Pornografi berasal dari bahasa Yunani, istilah ini terdiri dari porne yang berarti wanita jalang dan graphos atau graphien yang berarti gambar atau tulisan, pornografi menunjuk pada gambar atau photo yang mempertontonkon bagian-bagian terlarang tubuh perempuan. Pengertian ini secara eksplisit menunjukkan bahwa term pornografi selalu dan hanya berkaitan dengan tubuh perempuan Padahal, obyek pornografi sendiri tidak hanya berkutat pada wilayah tubuh perempuan, melainkan juga pada pria atau waria, dan bahkan binatang juga termasuk di dalamnya (Lutfan Muntaqo: 2006:11).
Dalam konteks Indonesia, kata porno berubah menjadi cabul (lihat Kamus Kesar Bahasa Indonesia) sementara istilah pornografi sendiri diartikan sebagai bentuk "penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan untuk membangkitkan nafsu birahi" atau "bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks". Dalam Terminologi Hukum, pornografi diartikan sebagai barang cetak atau film yang mengungkapkan masalah-masalah seksual kotor. (Ranuhandoko, 1996:445)
Hingga kini, definisi pornografi yang tepat dan disepakati oleh semua pihak belum ada. Meski kata ini begitu akrab di telinga dan seakan-akan kita mampu memahaminya, akan tetapi persoalannya justru ada dalam pemahaman (interpretasi) kita sendiri mengenai istilah tersebut. Tepat kiranya kalau lwao Hoshii dalam (Lutfan Muntaqo: 2006). menegaskan bahwa tidak ada definisi pornografi yang dapat mengklaim kevalidannya secara universal. Dalam konteks ini, kita dapat mengambil contoh definisi yang diungkapkan oleh Donald A. Down dalam (Lutfan Muntaqo: 2006). Menurutnya: the word pornography origi¬nally referred to any work of art or literature dealing with sex and sexual themes. Artinya, segala bentuk karya seni atau literatur tentang seks atau bertemakan seks dapat dimasukkan dalam kategori pornografi. Definisi lni tidak memberi batasan apakah hal tersebut membangkitkan nafsu birahi atau tidak, erotis atau tidak, maupun cabul atau tidak. Batasannya justru terletak pada hubungan antara karya seni atau literatur dengan tema seksual. Sehingga, dapat dikatakan, sepanjang karya seni atau literatur tersebut berbicara tentang seks atau bertemakan seks, maka dapat dikategorikan sebagai pornografi. Penjelasan ini bisa dimengerti sebab di Amerika, tempat Downs berasal, pornografi tidak sama dengan obscenity (cabul), suatu konsep legal yang dipakai terhadap bentuk-bentuk pornografi yang oleh masyarakat dianggap merusak moralitas seksual, dan ini diancam dengan hukum pidana. Di Amerika, sebagai contoh, definisi obscenity atau cabul dibatasi pada penggambaran pornografi yang vulgar (hard-core), artinya penggambaran seks secara eksplisit. Jadi, pornografi dianggap ilegal hanya jika dianggap cabul Hal ini berarti, pengertian pornografi berbeda-beda sesuai dengan konteks sosio-kultural masyarakat setempat.
Kata pornografi sendiri tidak banyak membantu, sebab jika diterjemahkan secara harfiah, kata ini berarti tulisan tentang wanita jalang. Padahal, arti kata ini tidak hanya menunjuk dan dibatasi pada teks tertulis, melainkan meluas kepada semua bentuk penggambaran dengan obyek penampilan seks dan berbagai variasinya. Tepat kiranya apa yang dikemukakan oleh Johan Suban Tukan dalam (Marzuki Umar S., 2001:64). Menurutnya, pornografi dapat dipahami sebagai suatu penyajia n seks secara terisolir dalam bentuk tulisan, gambar, foto, film, video kaset, pertunjukan, pementasan dan kata-¬kata ucapan dengan maksud untuk merangsang nafsu birahi.
Perbincangan tentang pornografi selalu terkait dengan pornoaksi, meskipun bukan dalam hubungan sebab-akibat. Dalam beberapa literatur ditemukan definisi tentang pornoaksi. Menurut Burhan Bungin (2003:140), pornoaksi merupakan suatu penggambaran aksi gerakan, lenggokan, liukan tubuh yang tidak sengaja atau sengaja untuk memancing bangkitnya nafsu seksual laki-laki. Pada awalnya, pornoaksi adalah aksi-aksi objek seksual yang dipertontonkan secara langsung oleh seseorang kepada orang lain, sehingga menimbulkan histeria seksual di masyarakat.
Dalam pandangan Neng Zubaedah (2003:140), pornoaksi sebenarnya sudah ada sejak lama, meskipun dengan istilah yang berbeda. Zubaedah menganggap bahwa pornoaksi dapat disamakan dengan striptis (strip-tease) yang dilakukan secara langsung, atau tanpa melalui media komunikasl." Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata striptis sendiri berarti pertunjukan tarian yang dilakukan oleh perempuan dengan gerakan antara lain; menanggalkan pakaiannya satu persatu di hadapan penonton, atau dapat juga berarti tarian telanjong. Meskipun rumusan pengertian kata striptis di atas tidak menyertakan tujuan dari tarian itu sendiri, yakni untuk membangkitkan nafsu birahi, namun implikasi yang ditimbulkan tetap dapat membangkitkan nafsu birahi penontonnya. Kalo striptis, dari bahasa asalnya (Inggris) merupakan kata yang terdiri dari dua kata kerja, yaitu strip yang berarti membuka pakaian, dan tease yang berarti menggoda. Jadi, bisa disimpulkan bahwa striptis merupakan kegiatan yang berhubungan dengan membuka pakaian untuk tujuan menggoda. Kesimpulan Zubaedah yang menyamakan pornoaksi dengan striptis di atas menyebutkan kata "secara langsung", atau "tanpa media komunikasi", sehingga jika pornoaksi tersebut ditampilkan melalui me¬dia komunikasi, maka striptis dapat dikategor kan sebagai pornografi. Sebagaimana pornografi, pengertian pornoaksi yang tersebut di atas juga berbeda-beda.
Penyebaran pornografi melalul berbagai media saat ini sudah sampai pada taraf yang membahayakan. Medium pornografi yang cukup populer di masyarakat belakangan ini berupa tabloid panas, internet, dan piringan cakram padat (VCD) atau cakram padat digital (DVD) porno. Namun, tanpa disadari, media Iain baik cetak maupun elektronik, juga turut memberi andil dalam penyebaran pornografi dan pornoaksi. Media-media tersebut berupa surat kabar, majalah, televisi, bioskop, atau bahkan radio. Media televisi merupakan media yang pal¬ing luas daya jangkaunya, Serta paling mudah dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat, balk di desa maupun di kota, baik kalangan tua maupun muda. Saat ini televisi bisa dikatakan, di desa sekalipun, tidak lagi dianggap sebagai barang mewah, sehingga setiap orang dengan mudah dapat menyaksikannya. Televisi mempunyai posisi istimewa dalam masyarakat, sebab media ini memberikan kemudahan akses yang maksimal bagi masyarakat publik (Ashadi Siregar, 2001: 1). Pesatnya perkembangan teknologi informasi menjadikan televisi dapat disiarkan hingga ke seluruh pelosok Indonesia. Tentu saja, ini sangat berbeda dengan surat kabar atau majalah, internet, ataupun bioskop. Media ini hanya dapat dikonsumsi oleh orang-orang tertentu, sebab untuk bisa menikmatinya dibutuhkan uang sebagai alat transaksinya, dan tentu saja hal ini terkait dengan kemampuan ekonomi seseorang. Untuk bisa membaca surat kabar, menggunakan internet, atau bahkan menonton film di bioskop, seseorang harus berpikir ulang untuk dapat menikmatinya. Persoalan ini juga sangat terkait dengan kebutuhan dasar lain yang lebih penting, semisal makan, minum dan seterusnya. Berbeda dengan media-media tersebut, televisi dapat dikonsumsi dengan biaya murah untuk membelinya, lalu pada gilirannya bersifat gratis. Hanya dengan mengeluarkan uang yang tidak banyak, seseorang, Iapat menikmatinya sepanjang waktu, tanpa terkena biaya lagi. Daya tarik atau nilai lebih dari media ini juga karena tayangannya yang bisa dilihat dan sekaligus didengarkan.
Tayangan pornografi dan pornoaksi menjadi tayangan yang mempunyai daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Sehingga, dapat kita lihat maraknya berbagai tayangan yang berbau pornografi dan pornoaksi di televisi. Tanpa melihat implikasi yang ditimbulkannya, para pemodal dan Usaha secara hukum untuk mencegah pornografi dan fornoaksi sebenarnya dalam hukum positif di Indonesia sudah tercantum dalam Kitab Undang¬Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 251, 282, 532 dan 533. Misalnya dalam Buku Ketiga Bab VI/ Pelanggaran Kesusilaan
a. Ayat (1):, sebagai berikut: " …….. lalu-lintas umum dengan terang-terangan mempertunjukkan atau menempelkan tulisan dengan judul, kulit atau isi yang dibikin terbaca, maupun gambar atau benda yang mampu membangkitkan nafsu birahi para remaja…..”
b. Ayat (2) : “ …….lalu-lintas umum de¬ngan terang-terangan memperdengarkan isi tulisan yang mampu membangkitkan nafsu birahi para remaja ………”
c. Ayat (3): " Barangsiapa secara terang¬terangan atau tanpa diminta menawarkan suatu tulisan, gambar atau barang yang dapat merangsang nafsu birahi para remaja …...”
d. Sanksi hukum: "Diancam pidana kurungan paling lama dua bulan".
Berdasarkan KUHP Bab VI/ Pelanggaran Kesusilaan, sebagaimana diatur dalam ayat (1), (2) dan (3), maka pengertian kecabulan ialah gambar/ lukisan, tulisan, ucapan/nyanyian yang dapat merangsang nafsu birahi/nafsu syahwat para remaja.
Kemudian uraian terinci mengenai gambar/ lukisan, tulisan, ucapan/nyanyian dan kelakuan yang dapat merangsang nafsu birahi/nafsu syahwat tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film dalam (Abdul Qadir Djaelani, 2006:45). yang antara lain berbunyi
1. Tidak meloloskan/tidak memberikan sertifikat "lolos sensor" semua produk film/media elektronik yang penyajiannya menonjolkan adegan-¬adegan seks lebih dari 50 %.
2. Memotong/menghapus adegan seorang pria atau wanita :
a. Dalam keadaan atau mengesankan te¬lanjang bulat, baik dilihat dari depan, samping maupun belakang.
b. Close-up alas vital, paha, buah dada atau pantat, baik dengan menutup maupun tanpa penutup.
c. Adegan ciuman yang merangsang baik oleh pasangan yang berlainan jenis maupun sesama jenis yang dilakukan dengan penuh birahi.
d. Adegan, gerakan atau persenggamaan atau yang memberikan kesan persenggamaan baik oleh manusia maupun oleh hewan, dalam sikap bagaimanapun, secara terang-terangan atau terselubung.
e. Gerakan atau perbuatan onani, lesbian, homo atau oral seks.
f. Adegan melahirkan baik manusia maupun hewan yang dapat menimbulkan nafsu birahi.
g. Menampilkan alat-alat kontrasepsi yang tidak sesuai dengan fungsi yang seharusnya atau tidak pada tempatnya.
h. Adegan-adegan yang menimbulkan kesan tidak etis.
Dengan maraknya pornografi dan merajalela nya prostitusi/pelacuran, disamping tidak adanya undang-undang yang membatasi/mengekang perbuatan pomografi dan prostitusi tersebut, maka dapat dipastikan bahwa mayoritas para remaja/ dapat dipastikan bahwa mayoritas para remaja/ generasi muda adalah pelaku-pelaku tindak kejahatan pelacuran. Apabila mayoritas remaja telah menjadi generasi muda pelacur, yang mengidap penyakit kelamin dan AIDS, yang menular kepada keturunan, disamping menderita penyakit jiwa (split psikologis), maka masa depan bangsa akan tenggelam kedalam kehidupan hewani yang kerdil, tetapi buas.
Masalah pornografi dan pornoaksi adalah mejadi tanggung jawab Negara dan bangsa. Dari berbagai informasi tentang dampak dari pem¬beritaan dan penayangan pornografi dan pornoaksi sungguh sangat memperihatinkan berikut ini data dari H.M. Husnie Thamrin dalam (Abdul Qadir Djaelani, 2006:xv-xvii) bahwa 97% mahasiswa di Yogyakarta, sudah kehilangan "Virginitas (Keperawanan) " saat kuliah, kesimpulan ini dipublikasikan oleh Lembaga. Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora. Dari Hasil penelitian yang dilakukan selama 3 (tiga) tahun (16 Juli 1999 s/d 16 Juli 2002). Terlepas dari metode penelitian yang digunakan serta keabsahan ilmiahnya bagi orang yang beragama dan bermoral sungguh sangat mengejutkan. Apalagi penelitian itu dilakukan di kota pelajar Yogyakarta yang memiliki lingkungan dan budaya yang selama ini sangat terjaga. Sebagai bahan renungan hasil analisa penelitian itu akan disajikan berikut ini:
- Hanya ditemukan 3 orang saja responden yang mengaku sama sekali belum pernah me¬lakukan kegiatan seks, termasuk juga kegiatan seks self service (masturbasi). Jadi hanya terdapat angka 0,18 % responden yang sama sekali belum pernah melakukan kegiatan seks tadi. Ke-3 responden tadi juga mengaku sama sekali belum pernah meng¬akses tontonan maupun bacaan erotis
- Hanya ditemukan 46 orang yang belum pernah melakukan kegiatan seks berpartner di bawah level petting sex jadi sekitar 2,77 % saja. Total dengan responden sebelumnya, jumlah responden yang belum pernah melakukan kegiatan seks berpartner : 2,77% + 0,18% = 2,19% saja. Jadi 97,05% mahasiswi di Yogyakarta pernah me¬lakukan kegiatan sex intercourse pra-nikah atau 97,05% mahasiswi di Yogyakarta sudah kehilangan kegadisannya dalam proses studinya.
- 100% dari 97,05% data responden itu mengakui kehlangan. keperawanannya (virginitas) dalam periodisasi waktu kuliahnya.
- 73% menggunakan metode coitus interrupt sedangkan selebihnya menggunakan alas kon¬trasepsi yang dijual bebas.
- 63% responden melakukan kegiatan seks di kos-kosan partner partener seks prianya. 14 responden mengaku melakukan kegiatan seks di kos-kosan atau kontrakan yang disewanya. 21% mengaku melakukan kegiatan seks di hotel kelas melati. 2% mengaku melakukan kegiatan seks di tempat-tempat wisata yang terbuka.
- Dari 1.660 responden, 23 orang diantaranya mengaku telah melakukan kegiatan kumpul kebo atau tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan selama lebih dari 2 tahun (1,386%). 5 orang (3%) diantanranya mengaku mendapatkan izin dari orangtua si responden. 2 orang diantaranya (0,12%) bahkan tinggal seatap dengan orangtua dari salah satu pihak, dan kegiatan seksnya diketahui oleh orangtua tanpa treatment pernikahan.
- 1.417 responden (85,36%) mengakui tidak punya aktivitas lain selain kuliah.
- 98 responden (5,90%) mengaku pernah melakukan aborsi.
- 23 responden (1,38%) dari 98 responden itu mengaku pernah melakukan aborsi lebih dari satu kali.
- 12 responden (0,72%) dari 98 responden itu mengaku pernah melakukan aborsi lebih dari 2 kali.
- 99,82% mahasiswi di Yogyakarta sudah mengenal seks dan pernah melakukan kegiatan yang mengarah ke sana.
- 97,05% mahasiswi di Yogyakarta sudah kehilangan virginitas melalui kegiatan intercourse¬seks.
Bagaimana para orang tua, masyarakat dan lingkungan akan menyikapi kenyataan ini? Sejauh ini belum nampak perhatian yang serius. Maka tidak heran bila hasil risetnya kantor berita AP menempatkan Indonesia pada urutan kedua soal pornografi setelah Rusia sebagai Negara Komums. Bila direnungkan secara mendalam sungguh sangat memperihatinkan. Mengapa Indonesia yang penduduknya mayoritas mengaku beragama, tetapi dalarn dunia internasional selalu mendapat ranking 1 dalam hal yang negative, seperti tingkat tertinggi korupsi, tingkat hutang dan lain-lain.
Fakta dari dua hasil penelitian di atas secara langsung adalah dampak dari penyebaran por¬nografi dan tayangan pornoaksi sehingga me¬lahirkan prostitusi dan kerusakan moral bangsa Apabila masalah tersebut tidak segera diatasi dan dituntaskan hal tersebut akan mengancam terjadinya kebangkrutan sosial, karena manusia sudah tidak lagi berakhlak.
Ternyata hal-hal mesum dan sejenisnya saat ini telah menjadi komoditas ekonormi demikian itu dapat dijumpai sehari-hari melalui media massa baik cetak atau elektronika terlebih lagi internet. Pornografi di internet tumbuh subur bagai cendawan di musim hujan demikian tulis Donny B.U, M.Si dalam (Abdul Qadir Djaelani, 2006) , karena penghasilan yang didapat dari mengelola situs porno tersebut terhitung lumayan. Menurut hasil riser Jupiter Research (WWW.jmm.com) pada Oktober 2002 di Amerika saja akan mencapai nilai US $ 400 juta pada 2006, meningkat jauh dibandingkan pada 2001 US $ 230 juta. Jumlah situs porno akan selalu meningkat terus belum lagi dalam, situs yang gratisan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar