BAB 3
PERKEMBANGAN INFLASI INDONESIA TAHUN 2007
(Laporan Bank Indonesia)
Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun 2007 tercatat sebesar 6,59%, atau berada dalam kisaran sasaran inflasi IHK tahun 2007 yang ditetapkan Pemerintah, yaitu sebesar 6,0%±1,0%. Tingkat inflasi IHK yang relatif stabil dibandingkan dengan tahun lalu, yang tercatat 6,60%, tidak terlepas dari perkembangan nilai tukar yang terjaga stabil, ketersediaan pasokan bahan makanan yang cukup, serta kenaikan harga-harga barang yang dikendalikan Pemerintah (administered price) yang minimal. Keberhasilan tersebut juga merupakan hasil dukungan Pemerintah dalam mengendalikan faktor-faktor yang memengaruhi inflasi, terutama yang bersumber dari kenaikan harga-harga komoditas internasional. Kondisi tersebut pada gilirannya meningkatkan kredibilitas kebijakan sehingga memberi kontribusi positif terhadap upaya mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat sejalan dengan sasaran inflasi yang ditetapkan.
A. Perkembangan Inflasi
Secara umum, perkembangan harga barang dan jasa di tingkat konsumen selama tahun 2007 relatif terkendali. Relatif stabilnya inflasi tahun 2007 merupakan hasil kontribusi dari relatif rendahnya inflasi yang terjadi sampai dengan paruh pertama tahun 2007. Laju inflasi IHK tahun kalender sampai dengan Juni 2007 tercatat sebesar 2,08% (ytd) termasuk di dalamnya deflasi 0,16% (mtm) pada bulan April. Laju inflasi paruh pertama periode 2007 tersebut lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 2,87% (ytd). Dilihat dari kelompok pengeluarannya1, hampir seluruh kelompok barang mengalami penurunan inflasi dibandingkan dengan tahun sebelumnya dengan penurunan tertinggi terjadi pada kelompok bahan makanan yaitu dari 5,16 % (ytd) pada paruh pertama tahun 2006 menjadi 2,45% (ytd) pada periode yang sama tahun 2007.
Memasuki paruh kedua tahun 2007 (Juli-Desember), perkembangan inflasi mendapat tekanan yang cukup berat. Meningkatnya harga komoditas internasional seperti
minyak mentah, crude palm oil (CPO), gandum, dan emas, yang disertai melemahnya nilai tukar rupiah menjadi pemicu peningkatan inflasi pada paruh kedua tahun 2007. Selain itu, faktor musiman seperti hari besar keagamaan, permulaan tahun ajaran baru, dan liburan akhir tahunjuga memberikan tekanan tambahan kepada inflasi.
Dengan perkembangan tersebut, inflasi IHK meningkat pada paruh kedua, yaitu sekitar 4,51%. Peningkatan inflasi tersebut tercermin pada peningkatan inflasi yang terjadi pada hampir seluruh kelompok barang, terutama pada kelompok bahan makanan. Secara keseluruhan tahun 2007 inflasi IHK relatif stabil mencapai 6,59% dibandingkan dengan tahun lalu sebesar 6,60%.
B. Faktor-faktor yang Memengaruhi Inflasi
Berdasarkan faktor-faktor yang memengaruhinya, relatif stabilnya inflasi tahun 2007 tersebut lebih disebabkan oleh membaiknya kondisi faktor-faktor nonfundamental serta didukung oleh cukup terkendalinya faktor-faktor fundamental. Dari sisi nonfundamental, penurunan inflasi volatile food dan tidak adanya perubahan kebijakan Pemerintah di bidang administered prices untuk barangbarang strategis, seperti harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan tarif dasar listrik (TDL), merupakan dua hal utama penyebab membaiknya kondisi inflasi dari faktor nonfundamental. Dari sisi fundamental, masih cukup terkendalinya inflasi inti5 lebih disebabkan oleh masih terjaganya ekspektasi inflasi dan minimalnya tekanan dari interaksi permintaan dan penawaran agregat. Sementara itu, di tengah meningkatnya imported inflation, tekanan dari sisi eksternal relatif dapat diredam sejalan dengan rata-rata nilai tukar rupiah yang menguat tahun 2007.
Dinamika inflasi tersebut menunjukkan bahwa peranan penurunan inflasi volatile food cukup penting menjaga stabilnya inflasi IHK tahun 2007. Penurunan inflasi volatile food tersebut menyebabkan sumbangan inflasi volatile food dalam pembentukan inflasi mengalami penurunan, yaitu dari 2,75% tahun 2006 menjadi 2,09% tahun 2007. Penurunan sumbangan inflasi dari kelompok volatile food tersebut dapat mengimbangi kenaikan sumbangan inflasi yang berasal dari inflasi inti dan administered prices sehingga secara keseluruhan tahun inflasi relatif stabil
1. Faktor Nonfundamental (Shocks)
a. Komoditas yang Harganya Bergejolak (Volatile Food)
Perkembangan inflasi volatile food menunjukkan penurunan dari 15,27% tahun lalu menjadi 11,41% tahun 2007. Menurunnya inflasi volatile food utamanya disebabkan oleh menurunnya inflasi komoditas beras sejalan dengan relatif terjaganya pasokan dan kelancaran distribusi. Selain ditunjang oleh peningkatan produksi, upaya untuk menjaga kecukupan pasokan beras juga dilakukan melalui impor beras oleh Bulog. Inflasi komoditas beras, yang memiliki bobot terbesar dalam penghitungan IHK, menurun cukup tajam dari 32,0% tahun 2006 menjadi 8,49% tahun 2007. Penurunan tersebut mulai terlihat pada bulan April setelah Pemerintah memberikan kebebasan kepada Bulog untuk mengimpor beras, terkait upaya menjaga stok beras. Secarakeseluruhan, sumbangan komoditas beras terhadap inflasi menurun dari 1,58% tahun 2006 menjadi 0,52% tahun 2007
Meskipun secara umum inflasi volatile food tahun 2007 mengalami penurunan, inflasi beberapa komoditas di kelompok ini mengalami kenaikan akibat meningkatnya beberapa harga komoditas di pasar internasional dan terjadinya bencana alam. Meningkatnya harga CPO dunia berpengaruh signifikan terhadap inflasi volatile food melalui kenaikan harga minyak goreng yang tercatat sebesar 41,40%. Peningkatan inflasi minyak goreng tersebut juga diikuti oleh kenaikan produk turunan CPO lainnya seperti margarine dan mentega yang masing-masing meningkat sebesar 14,28% dan 29,81%
Sementara itu, kenaikan harga jagung internasional yang diikuti oleh kenaikan harga pakan ternak mendorong kenaikan harga daging ayam ras dan telur ayam ras masing-masing sebesar 12,30% dan 19,04%. Terjadinya banjir juga memberikan tekanan terhadap inflasi volatile food seperti tercermin pada peningkatan inflasi bawang merah. Pada tahun 2007, inflasi bawang merah tercatat sebesar 124,50%, melonjak tinggi dibandingkan dengan tahun lalu yang mencatat deflasi 18,8%. Dilihat dari sumbangannya terhadap inflasi, komoditas beras masih memberikan sumbangan tertinggi yaitu 0,52%. Sementara itu, komoditas yang inflasinya cukup tinggi minyak goreng dan bawang merah juga memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap inflasi volatile food, masing-masing sebesar 0,49% dan 0,47%.
b. Komoditas yang Harganya Diatur oleh Pemerintah (Administered Prices)
Selama tahun 2007, tekanan inflasi administered prices relatif minimal seiring tidak adanya kenaikan harga barang administered yang bersifat strategis, seperti BBM bersubsidi (premium, solar, dan minyak tanah) dan TDL. Pengaruh kebijakan tersebut cukup signifikan dalam upaya menjaga kestabilan inflasi tahun ini mengingat bobotnya yang cukup besar dalam keranjang IHK serta dampak rambatannya terhadap komoditas lain yang cukup tinggi.
Meskipun relatif rendah, inflasi administered prices tahun laporan mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan tahun lalu, dari sebesar 1,84% menjadi 3,30%. Peningkatan tersebut terutama disebabkan adanya penerapan beberapa kebijakan administered prices nonstrategis, antara lain kenaikan harga jual eceran (HJE) rokok sebesar 7% pada Maret 2007, pengenaan tarif cukai rokok spesifik per 1 Juli 20076, kenaikan tarif air minum PAM di beberapa kota, kenaikan tarif jalan tol, dan kenaikan harga BBM nonsubsidi (Pertamax, Pertamax Plus, dan Pertamina Dex).
Di samping itu, inflasi administered prices juga dipengaruhi oleh kondisi pasokan komoditas minyak tanah dan Liquified Petroleum Gas (LPG) atau gas elpiji meskipun Pemerintah tidak melakukan penyesuaian (ditingkat agen/pangkalan). Komoditas minyak tanah mengalami kenaikan harga di tingkat pedagang pengecer terutama pada triwulan III-2007. Hal tersebut terjadi sebagai akibat adanya permasalahan dalam penerapan program konversi minyak tanah ke gas elpiji 3 kg. Dengan kondisi tersebut, inflasi minyak tanah selama tahun 2007 meningkat menjadi 2,7% dengan sumbangan terhadap inflasi sebesar 0,07%. Selain minyak tanah, komoditas gas elpiji juga juga mengalami kenaikan harga sebagai akibat dari adanya kelangkaan pasokan di beberapa daerah yang disebabkan oleh tersendatnya distribusi komoditas tersebut. Inflasi gas elpiji tercatat sebesar 2,1% dengan bobot sumbangan sebesar 0,01%.
2. Faktor Fundamental
a. Inflasi Inti
Dari sisi fundamental, perkembangan inflasi inti masih relatif terkendali meskipun menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Inflasi inti tercatat sebesar 6,29%, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 6,03%. Lebih tingginya inflasi inti tersebut sebagai akibat dari meningkatnya tekanan imported inflation, terkait dengan kenaikan beberapa harga komoditas internasional seperti minyak mentah, CPO, emas, dan gandum. Namun, tekanan imported inflation tersebut sedikit teredam oleh relatif stabilnya nilai tukar rupiah. Sementara faktor yang memengaruhi inflasi inti lainnya, yaitu faktor interaksi permintaan dan penawaran (output gap) serta faktor ekspektasi inflasi, menunjukkan perkembangan yang relatif stabil.
Dilihat dari komoditasnya, pengaruh kenaikan harga internasional tersebut terlihat pada komoditas emas dan berbagai makanan. Emas perhiasan merupakan komoditas yang memberikan andil tertinggi terhadap inflasi inti yang meningkat tajam menjadi 27,50% dan memberikan sumbangan sebesar 0,33%. Komoditas berbagai makanan juga menunjukkan peningkatan terutama beberapa jenis mie, berbagai jenis kue dan roti, serta tempe.
b.Ekspektasi inflasi
Ekspektasi inflasi masyarakat selama tahun 2007 relatif stabil di kisaran 6%-7%. Pada umumnya, pelaku pasar masih meyakini bahwa inflasi tahun 2007 masih berada pada kisaran 6%-7%, atau masih dalam kisaran sasaran inflasi tahun 2007 yang ditetapkan Pemerintah yaitu sebesar 6%±1%. Berdasarkan survei Consensus Forecast, perkiraan inflasi tahun 2007 dari beberapa lembaga menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi tahun 2007 relatif stabil pada kisaran 6,3%-6,7%.
Hasil tersebut juga dikonfirmasi oleh hasil survei yang dilakukan Bank Indonesia yaitu Survei Persepsi Pasar (SPP) yang menunjukkan bahwa mayoritas responden memperkirakan inflasi tahun 2007 berada pada kisaran 6%-7%. Bahkan jumlah responden yang menyatakan inflasi akan berada dalam kisaran 6%-7% mengalami peningkatan, sementara jumlah responden yang menyatakan inflasi akan naik (kisaran 7,1%-8,0%) semakin menurun. Ekspektasi inflasi yang terjaga stabil mencerminkan kepercayaan mayoritas pelaku pasar bahwa Pemerintah dan Bank Indonesia tetap konsisten mengarahkan kebijakannya untuk mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan.
Meskipun relatif stabil, tingkat ekspektasi inflasi ke depan masih perlu dicermati. Hal tersebut berkaitan dengan meningkatnya ekspektasi kenaikan harga ke depan terutama pada akhir tahun. Hasil survei konsumen pada akhir tahun menunjukkan bahwa ekspektasi konsumen untuk harga 3 bulan dan 6 bulan ke depan mengalami peningkatan. Hal tersebut ditengarai sebagai akibat meningkatnya harga komoditas internasional yang dikhawatirkan akan menaikkan biaya produksi dan selanjutnya ditransmisikan ke harga barang domestik. Selain itu, masih tingginya ekspektasi inflasi juga terkait masih dominannya perilaku ekspektasi masyarakat yang bersifat backward looking sehingga penurunan inflasi menjadi lebih lambat.
3. Faktor Eksternal
Pada tahun 2007, tekanan inflasi dari faktor eksternal terutama disebabkan oleh peningkatan imported inflation, sebagai dampak dari peningkatan harga komoditas internasional, khususnya harga minyak mentah, CPO, dan gandum. Kenaikan harga komoditas internasional tersebut memberikan tekanan inflasi di berbagai negara seperti. tercermin pada peningkatan inflasi mitra dagang
Selanjutnya, kondisi tersebut ditransmisikan pada inflasi di dalam negeri sebagaimana tercermin pada inflasi IHPB Impor yang meningkat dari 7,01% tahun 2006 menjadi 25,60%. Namun demikian, kenaikan IHPB impor tersebut tidak sepenuhnya ditransmisikan ke harga barang dalam negeri di tingkat konsumen. Hal itu ditunjukkan oleh peningkatan inflasi komoditas impor tidak sebesar peningkatan inflasi IHPB impor. Laju inflasi komoditas impor IHK sedikit meningkat dari 5,83% tahun 2006 menjadi 7,20% tahun 2007. Pola lebih rendahnya inflasi komoditas impor dibandingkan dengan inflasi IHPB impor ditengarai disebabkan oleh beberapa hal yaitu: (1) beberapa barang impor merupakan salah satu komponen input dalam proses produksi sehingga proporsi kenaikan harga barang akhir akan lebih rendah dibandingkan dengan proporsi kenaikan harga barang impor; (2) indikasi bahwa produsen berusaha tidak mentransmisikan seluruh kenaikan barang input ke harga jual produk dengan pertimbangan kondisi permintaan konsumen dan kondisi persaingan bisnis. Di sisi lain, perkembangan nilai tukar yang relatif stabil mengurangi tekanan yang timbul dari imported inflation. Secara rata-rata, nilai tukar tahun 2007 mencapai Rp9.140 per dolar meskipun sempat mengalami tekanan akibat krisis subprime mortgage di AS.
4. Faktor Interaksi Sisi Permintaan dan Penawaran (Output Gap)
Tekanan inflasi dari interaksi permintaan dan penawaran diindikasikan masih minimal. Kondisi tersebut ditunjukkan oleh kesenjangan output (output gap) yang masih negatif. Hal tersebut disebabkan kemampuan sisi penawaran yang masih dapat mengimbangi kenaikan sisi permintaan. Respons dari sisi penawaran tercermin pada peningkatan indeks produksi dalam survei produksi yang dilakukan oleh BPS. Indeks produksi meningkat dari rata-rata tahun 2006 sebesar 116,9% menjadi 123,12%. Di samping itu, SKDU triwulan IV-2007 menunjukkan kapasitas terpakai sebesar 73,26% yang menggambarkan bahwa sebagian besar industri masih mempunyai ruang untuk meningkatkan produksi apabila terjadi peningkatan permintaan.
C. Evaluasi Pencapaian Sasaran Inflasi
Pada tahun 2007 Pemerintah menetapkan sasaran inflasi IHK sebesar 6% dengan deviasi ±1%7. Penetapan sasaran ini didasarkan pada prakiraan awal tahun terhadap faktor-faktor fundamental dan nonfundamental (shocks) penyebab tekanan inflasi. Dari sisi faktor fundamental, penyebab inflasi diprakirakan bersumber dari faktor eksternal berupa pelemahan nilai tukar rupiah.
Sementara faktor eksternal lainnya, yaitu harga minyak dunia, diprakirakan sebesar $60/barel. Dengan prakiraan tekanan dari kesenjangan output relatif minimal dan faktor ekspektasi inflasi masyarakat diprakirakan masih akan stabil, maka inflasi inti diprakirakan akan berada pada tingkat 6,3%. Dari sisi nonfundamental, inflasi volatile food diprakirakan masih tinggi, meskipun mengalami penurunan. Sementara itu, inflasi administered prices diprakirakan memberi dampak minimal terhadap inflasi IHK seiring dengan komitmen Pemerintah untuk tidak menaikkan harga BBM dan TDL.
Dalam realisasinya, faktor-faktor yang memengaruhi inflasi, baik fundamental maupun nonfundamental, ternyata relatif sama dengan prakiraan semula, sehingga inflasi IHK tahun 2007 berada pada kisaran sasaran yang ditetapkan. Hal tersebut merupakan hasil capaian koordinasi yang semakin baik antara Bank Indonesia dan Pemerintah. Kebijakan moneter yang secara konsisten terus diarahkan untuk pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkan serta kemampuan Pemerintah dalam mengendalikan gejolak harga-harga melalui berbagai paket kebijakan sektoral merupakan faktor kunci bagi keberhasilan pencapaian sasaran inflasi tahun 2007.
Dengan perkembangan tersebut, realisasi inflasi inti yang menggambarkan perkembangan faktor fundamental tercatat sebesar 6,29%. Hal tersebut disebabkan oleh masih memadainya respon sisi penawaran agregat terhadap peningkatan permintaan agregat serta ekspektasi inflasi yang relatif stabil. Namun, pada faktor eksternal, realisasi harga minyak dunia ternyata meningkat tajam menjadi $72,3 per barel, sehingga memberi tekanan pada imported inflation. Meskipun demikian, realisasi nilai tukar rupiah yang relatif stabil membantu mengurangi tekanan imported inflation terhadap inflasi domestik.
Dari faktor nonfundamental, dalam realisasinya, komitmen Pemerintah untuk tidak mengambil kebijakan administered prices yang bersifat strategis menyebabkan inflasi administered price relatif rendah. Sementara itu, realisasi inflasi volatile food menunjukkan masih tinggi meskipun mengalami penurunan. Penurunan inflasi volatile food tersebut lebih disebabkan oleh menurunnya inflasi komoditas beras yang bobotnya terbesar dalam keranjang IHK.
D. Bauran Kebijakan yang Telah Diambil dalam Rangka Pengendalian Inflasi
Tercapainya sasaran inflasi tahun 2007 tidak terlepas dari semakin baiknya koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah dalam mengendalikan faktor-faktor yang memengaruhi inflasi serta menciptakan stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Dari sisi Bank Indonesia, selama tahun 2007 kebijakan moneter yang ditempuh secara konsisten diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan. Hal itu diwujudkan melalui pengelolaan likuiditas yang sesuai dengan kebutuhan perekonomian dan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah ditengah gejolak kondisi eksternal yang kurang menguntungkan.
Dalam rangka mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat ke sasaran inflasi yang telah ditetapkan, Bank Indonesia juga terus berupaya untuk melakukan penguatan strategi
komunikasi. Selain melalui siaran pers dan konferensi pers yang secara reguler mengumumkan keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) dan penerbitan Laporan Kebijakan Moneter, penguatan strategi komunikasi tersebut dilakukan melalui program diseminasi kebijakan moneter kepada seluruh stakeholders, seperti akademisi, dunia usaha, wartawan, dan pelaku keuangan, yang dilakukan, baik di pusat maupun daerah. Dalam diseminasi tersebut dipaparkan asesmen menyeluruh Bank Indonesia mengenai perkembangan terkini makroekonomi, inflasi dan kondisi moneter, serta prakiraan inflasi ke depan dan respon kebijakan moneter yang diperlukan untuk membawa inflasi ke arah sasaran inflasi yang telah ditetapkan. Melalui penguatan komunikasi tersebut, perilaku ekspektasi inflasi di Indonesia diharapkan akan mengacu pada pada sasaran inflasi yang telah ditetapkan Pemerintah (forward looking).
Di sisi lain, Pemerintah berupaya untuk tetap menjaga kesinambungan fiskal seraya terus menjaga kecukupan pasokan barang terutama kebutuhan pokok. Upaya Pemerintah tersebut dilakukan melalui berbagai paket kebijakan sektoral seperti pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pemberian subsidi untuk komoditas pangan yang rentan terhadap shocks seperti minyak goreng. Selain itu, Pemerintah berkomitmen untuk menjaga pasokan dan distribusi agar harganya tidak bergejolak seperti pada komoditas beras, minyak tanah, dan gula. Sesuai dengan komitmen awal, Pemerintah tidak menerapkan kebijakan administered price yang bersifat strategis (BBM dan TDL). Komitmen Pemerintah diperkuat melalui pembentukan Tim Koordinasi Stabilisasi Pangan Pokok yang beranggotakan departemen teknis terkait dengan tugas antara lain: merencanakan dan merumuskan kebijakan stabilisasi kebutuhan pangan pokok (beras, gula, dan minyak goreng), mengoordinasi pelaksanaan, serta memantau dan mengevaluasi kebijakan stabilisasi tersebut. Selain itu, Pemerintah juga mengeluarkan Inpres No. 6/2007 yang antara lain berisi kebijakan percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UMKM yang di antaranya adalah paket kebijakan perbaikan investasi dan paket kebijakan percepatan pembangunan infrastuktur.
Dalam rangka koordinasi kebijakan, Bank Indonesia dan Pemerintah terus memperkuat koordinasi dalam Tim Pengendalian Inflasi yang bertugas merumuskan kebijakan-kebijakan yang diperlukan untuk mengendalikan tekanan inflasi. Selain itu, Tim juga membahas dan merumuskan usulan sasaran inflasi tahun 2008-2010. Koordinasi kebijakan tersebut sangat diperlukan, terkait dengan komponen permanen inflasi di Indonesia yang masih cukup tinggi.
E. Upaya Memahami Perilaku Inflasi di Indonesia: Komponen Permanen Inflasi dan Persistensi Inflasi
Upaya pengendalian inflasi menuntut adanya pemahaman dan pengetahuan yang mendalam mengenai perilaku inflasi itu sendiri. Dua aspek perilaku inflasi yang selama ini menjadi tantangan dalam upaya menurunkan maupun mengendalikan laju inflasi di Indonesia adalah sulitnya menurunkan laju inflasi ke level yang lebih rendah1 serta persistensi inflasi yang tinggi. Sulitnya membawa laju inflasi ke tingkat yang lebih rendah menimbulkan pertanyaan apakah memang ada suatu tingkat inflasi yang inheren untuk Indonesia selama ini. Pemahaman mengenai hal tersebut akan sangat membantu, misalnya dalam menentukan suatu target inflasi, agar dapat dilakukan secara realistis. Penentuan target yang tidak realistis akan memaksa bank sentral menerapkan kebijakan moneter yang ekstrim sehingga akan menimbulkan biaya perekonomian yang sangat besar.
Sementara itu, persistensi terkait dengan seberapa cepat inflasi akan kembali ke keseimbangannya setelah mengalami suatu kejutan (shock). Inflasi yang persisten berati bahwa ketika terjadi shocks, laju inflasi akan cenderung lama untuk kembali pada laju inflasi semula. Kondisi inflasi yang persisten ini juga akan semakin menyulitkan upaya untuk membawa laju inflasi ke tingkat yang lebih rendah. Oleh karena itu, pemahaman mengenai persistensi inflasi juga sangat penting karena akan menentukan seberapa preemptive Bank Indonesia dalam merespon kejutan-kejutan dalam perekonomian yang menganggu kestabilan harga.
Studi yang dilakukan menunjukkan adanya karakteristik inflasi di Indonesia yang tampaknya memiliki kecenderungan untuk sulit diturunkan ke tingkat yang lebih rendah (sticky inflation). Dengan menghitung ratarata inflasi, long-term trend inflasi untuk kurun waktu tahun 1980-2007 adalah 9,8%. Sementara itu, jika hanya dihitung pada periode 2000-2007, long-term trend inflasi adalah 8,8%. Tingginya long-term trend inflasi ini menimbulkan pertanyaan apakah ada suatu level tertentu yang merupakan komponen permanen pembentuk inflasi di Indonesia. Pendekatan ekonometri menganjurkan teknik dekomposisi inflasi menjadi komponen permanen dan transitory. Selanjutnya, komponen permanen inflasi diuraikan menjadi dua unsur pembentuknya, yakni deterministic dan stochastic trend. Deterministic trend direpresentasikan oleh long term trend yang linear. Stochastic trend adalah akumulasi dari shock yang bersifat permanen yang akan menetap pada inflasi. Dapat dikatakan bahwa stochastic trend terkait dengan inflasi yang cenderung memiliki persistensi yang tinggi. Hasil penghitungan data komponen permanen inflasi menunjukkan bahwa level terendah yang dapat dicapai adalah sekitar 5,3%, yang terjadi pada masa pascakrisis, tepatnya pada periode triwulan II-2003 sampai triwulan I-2004.
Kenyataan bahwa pada masa prakrisis, inflasi permanen cenderung berada di atas long-term trend-nya, sedangkan pada masa pascakrisis cenderung berada di bawah long-term trend-nya, menyiratkan bahwa stochastic trend lebih rendah pada masa pascakrisis. Kesimpulan ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa derajat persistensi inflasi di Indonesia telah semakin menurun. Studi yang dilakukan dengan menggunakan model autoregresi sederhana menemukan bahwa dalam kurun waktu tahun 1990-2006 tingkat persistensi di Indonesia ternyata mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Studi tersebut menunjukkan penurunan derajat persistensi inflasi IHK, dari 0,27 pada periode sebelum krisis menjadi 0,12 setelah krisis. Perubahan derajat persistensi inflasi tersebut juga dikonfirmasi dari hasil estimasi rolling regression koefisien persistensi. Lebih rendahnya persistensi inflasi mengimplikasikan bahwa bila ada kejutan dalam perekonomian, inflasi akan kembali lebih cepat ke tingkat rata-rata inflasinya. Dari sisi pengendalian inflasi, lebih rendahnya persistensi inflasi juga akan mempermudah upaya menurunkan laju inflasi, karena kecenderungan masyarakat untuk menjangkarkan ekspektasi inflasi ke masa lalu telah berkurang.
Hasil kajian yang menunjukkan adanya komponen permanen inflasi di Indonesia yang masih cukup tinggi menjadi kendala dalam upaya menurunkan inflasi ke tingkat yang lebih rendah. Masih tingginya level komponen permanen inflasi mengindikasikan adanya permasalahan yang lebih mendasar dalam fenomena inflasi di Indonesia, terutama hal-hal yang terkait dengan produktivitas, efisiensi, dan struktur perekonomian. Adanya keterkaitan erat antara inflasi dengan produktivitas dan efisiensi perekonomian memberikan implikasi bahwa kebijakan disinflasi perlu diterapkan dengan senantiasa memperhatikan prinsip pentahapan (gradualism) dan keseimbangan (balance). Kebijakan moneter yang terlampau ketat di tengah rendahnya produktivitas dan efisiensi perekonomian dapat menimbulkan resesi.
Sebaliknya, kebijakan moneter yang terlalu longgar, hanya akan membuat perekonomian menjadi inflatoir dan tidak pro-poor. Adanya keterkaitan erat antara inflasi dan aspek-aspek struktural juga memberi implikasi bahwa untuk melakukan proses disinflasi yang kredibel diperlukan koordinasi yang menyeluruh dan terpadu dari Pemerintah dan Bank Indonesia.
F. Sasaran Inflasi Tahun 2008-2010
Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan landasan bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Sesuai dengan amanat Undang - Undang 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No 3/2004,
Bank Indonesia mempunyai tugas untuk mencapai dan memelihara stabilitas nilai rupiah. Dalam Undang Undang tersebut (penjelasan pasal 10 ayat 1a) diatur bahwa sasaran inflasi ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Selanjutnya sasaran inflasi tersebut dipergunakan oleh Bank Indonesia sebagai dasar dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter dengan mempertimbangkan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian secara keseluruhan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 399/ KMK.011/2004 tanggal 6 September 2004, periode sasaran inflasi ditetapkan untuk jangka waktu 3 tahun, sementara jenis sasaran inflasi yang digunakan adalah inflasi IHK tahunan. Dalam keputusan tersebut disepakati pula sasaran inflasi untuk tahun 2005-2007, yaitu 6%±1% untuk tahun 2005, 5,5%±1% untuk tahun 2006, dan 5,0%±1% untuk tahun 2007. Kemudian, Pemerintah dan Bank Indonesia sepakat merevisi sasaran tersebut pada tanggal 17 Maret 2006. Sasaran inflasi periode 2006- 2008 disepakati masing-masing sebesar 8,0%, 6,0%, dan 5,0% dengan deviasi sebesar ±1%. Selanjutnya, pada awal Januari 2008 Pemerintah menetapkan sasaran inflasi yang baru untuk periode 2008-2010 yaitu masing-masing sebesar 5,0%, 4,5%, dan 4,0% dengan deviasi ±1% melalui Keputusan Menteri Keuangan No.1 tahun 2008. Secara umum, sasaran inflasi tersebut ditetapkan dengan mempertimbangkan proyeksi inflasi dan kebijakan yang perlu diambil sehingga sasaran inflasi tersebut realistis.
Penetapan sasaran inflasi tersebut diperlukan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan ekonomi bagi setiap pelaku ekonomi termasuk Pemerintah dan Bank Indonesia dalam merumuskan kebijakan yang terkait. Adapun penetapan sasaran inflasi yang menurun menunjukkan komitmen Pemerintah untuk terus melanjutkan proses disinflasi secara gradual sehingga inflasi domestik nantinya akan relatif sama dengan inflasi di negara kawasan. Sasaran inflasi tersebut juga diharapkan akan menjadi jangkar pembentukan ekspektasi inflasi setiap pelaku ekonomi (forward looking). Hal itu dirasa penting mengingat pentingnya peranan faktor ekspektasi inflasi dalam pembentukan inflasi.
Pemerintah menyadari bahwa pencapaian tersebut memerlukan komitmen dan kerja keras dari berbagai pihak mengingat rata-rata historis inflasi Indonesia yang masih tinggi. Berdasarkan data historis selama 30 tahun terakhir, rata-rata inflasi terendah terjadi pada periode sesudah krisis yaitu pada level 7,12%, suatu tingkat inflasi yang masih cukup tinggi. Meskipun demikian, pencapaian inflasi yang lebih rendah dari rata-rata historis tersebut bukanlah suatu hal yang tidak mungkin mengingat tahun 1992, 1996, dan 2003 inflasi pernah mencapai sekitar 5%. Pada ketiga tahun tersebut, keberhasilan pencapaian inflasi yang rendah sangat terbantu oleh terkendalinya faktor nonfundamental yaitu inflasi volatile food dan administered price. Menyadari faktor penentu inflasi yang beragam, yang tidak hanya terbatas pada lingkup kebijakan moneter namun juga lingkup kebijakan produksi dan kebijakan distribusi, Pemerintah memutuskan membentuk Forum Koordinasi Pengendalian Inflasi di samping memperkuat Tim yang sudah ada seperti Tim Pengendalian Inflasi dan Tim Koordinasi Stabilisasi Pangan Pokok. Forum tersebut diharapkan dapat memantau pelaksanaan berbagai kegiatan yang terkait dengan pengendalian inflasi. Forum ini diketuai langsung oleh Menko Perekonomian, dengan anggota tetap yakni Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Menteri Perdagangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar