BAB 5
ANALISA DAN STRATEGI ANTISIPASI
A. Anilasa Permasalah Perekonomian Indonesia
Salah satu masalah yang mengemuka dalam tahun-tahun terakhir ini, khususnya tahun 2006, adalah soal rendahnya tingkat penyerapan anggaran pemerintah sehingga mengurangi efektivitas kebijakan fiskal. Data-data dari Departemen Keuangan (2006) menyebutkan, sampai dengan semester pertama 2006 alokasi belanja yang terkait dengan investasi pemerintah terealisasi rendah sekali. Belanja modal baru mencapai Rp. 13,89 trilyun atau setara 26% dari target, sementara belanja barang Rp. 14,65 trilyun atau setara 26% dari APBN. Padahal, total anggaran belanja barang dan modal pemerintah pusat tahun 2006 sebanyak Rp. 118 trilyun, sedangkan belanja daerah Rp. 220 trilyun.Proporsi tiga jenis mata anggaran itu mencapai 52% dari toral anggaran belanja senilai Rp. 674 trilyun (Kompas, 25/7/2006). Realitas ini tentu sangat menyedihkan karena dalam situasi seperti sekarang (ketika sektor swasta masih belum pulih) sebetulnya pengeluaran sektor pemerintah yang diharapkan berperan untuk memicu kebiatan ekonomi. Pengeluaran pemerintah ini bisa menjadi pengungkit pendapatan dan daya beli masyarakat.
Jika melihat argumantasi-argumantasi yang dikeluarkan oleh pemerintah, khususnya Mentri Keuangan, sebetulnya rendahnya penyerapan APBN disebabkan oleh dua hal. Pertama, ketakutan yang berlebihan dari aparat birokrasi untuk sesegera mungkin melakukan belanja, modal maupun barang, karena kian ketatnya prosedur pengawasan. Aparat birokrasi takut dengan pemeriksaan rutin yang dilakukan oleh badang yang berwenang, misalnya BPK dan KPK, yang berpotensi memidana mereka. Jika memang alasan ini terbukti, berarti masalahnya terletak dalam prosedur (juga petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari pemerintah). Tentunya pekerjaan ini harus cepat diselasikan. Kedua, banyak departemen-departemn teknis maupun pemerintah daerah yang terlambat dalam sistem memasukan mata anggaran satuan kerja sebagai syarat keluarnya anggaran. Bila ini yang terjadi, maka kelemahannya terdapat dalam sistem perencanaan di masing-masing departemen atau pemerintah daerah. Analisis yang lebih mendalam tentu diperlukan untuk mengetahui secara persis masalah ini.
Disamping masalah rendahnya penyerapan anggaran negara, persoalan yang berada di lingkup kebijakan fiskal adalah ketergantungan yang cukup besar penerimaan negara dari sumber pajak. Secara jelas menunjukkan peran pajak dalam penerimaan negara cendrung meningkat dari tahun ke tahun, walaupun dalam periode 2005-2006 terdapat tendensi penurunan. Tercatat sumbangan pajak terhadap APBN terbesar pada tahun 2004, yakni 79,7%. Sedangkan tahun 2006 menurun menjadi 64,3%. Salah satu penyebab penurunan tersebut disebabkan oleh lesunya iklim bisnis akibat kenaikan harga BBM pada bulan Oktober 2005. tetapi, diyakini seiring dengan membaiknya perekonomian dan itensifikasi jumlah wajib diharapkan kontribusi penerimaan pajak itu akan meningkat kembali pada tahun-tahun berikutnya. Keberhasilan paling mencolok dari sektor pajak ini dalam dua tahun terakhir (2005-2006).
Di Indonesia, kekompakan seperti di Amerika Serikat agak sulit dicapai karena berbagai kepentingan partai politik yang terlalu bervariasi-yang sering kali mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Misalnya penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk mengatasi krisis yang terjadi sejak 1997 sampai sekarang belum tuntas walaupun sudah ada lima presiden yang memerintah sejak zaman Presiden Soeharto sampai pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Bahkan masalah BLBI ini dijadikan amunisi politik untuk menyerang lawan politiknya atau pemerintah yang sedang berkuasa. Sudah banyak sekali energi yang terbuang untuk menyelesaikan masalah ini, tetapi masalahnya tak kunjung selesai.
Penyelesaian krisis keuangan yang terjadi 1997-1998 itu juga menunjukkan ketidakkompakan elite politik bangsa ini. Pada awalnya penyelesaian hanya melibatkan unsur eksekutif saja, tanpa keikutsertaan DPR.
Belakangan keterlibatan DPR diperlukan untuk mengatasi perbedaan pendapat antara Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan mengenai penyelesaian biaya krisis yang dipergunakan untuk menyelamatkan industri perbankan, yaitu untuk membayar dana masyarakat pada bank-bank gagal dan rekapitalisasi perbankan.
B. Strategi Antisipasi
Krisis keuangan yang terjadi di Amerika ternyata menjadi fokus pertemuan di Istana antara pemerintah, KADIN, BUMN, pengamat ekonomi, sektor keuangan, dan pengusaha. Adapun hasil dari pertemuan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan 10 arahan yang disampaikan Presiden di Gedung Utama Setneg di Jakarta, Senin (6/10/2008).
Ke-10 arahan tersebut di antaranya adalah Presiden mengimbau untuk optimistis, bersatu, dan bersinergi untuk mengelola, serta mengawasi dampak krisis yang melanda Amerika.
Kedua, menyerukan untuk tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang mencapai enam persen.
Ketiga, mengoptimalkan APBN 2009 untuk tetap memacu pertumbuhan ekonomi dan membangun social safety, efisiensi, dan batasi pembelanjaan yang konsumtif, serta pembelanjaan yang bisa ditunda.
Keempat, dunia usaha atau sektor riil harus tetap bergerak supaya pajak dan penerimaan negara tetap terjaga. Sehingga pengangguran tidak bertambah. Kewajiban BI adalah menjamin kredit dan likuiditas, sedangkan kewajiban pemerintah pada kebijakan regulasi, iklim, dan insentif agar sektor riil tetap berjalan.
Kelima, cerdas menangkap peluang untuk lakukan perdagangan dan kerjasama ekonomi dengan negara lain.
Keenam, melakukan kampanye besar-besaran untuk konsumsi produk dalam negeri.
Ketujuh, adanya sinergi kemitraan antara pemerintah, BI, dan pihak swasta.
Kedelapan, menghentikan sikap ego sektoral dan budaya bisnis usually.
Kesembilan, pada 2008-2009 adalah tahun politik dan pemilu, sehingga Presiden menyerukan, untuk melakukan politik yang nonpartisan dalam menghadapi dampak krisis global ini.
Kesepuluh, melakukan komunikasi tepat dan bijak kepada masyarakat.
Sisi lain keterlibatan DPR perlu diperhatikan dan juga sangat penting karena penyelesaian krisis melibatkan berbagai pihak dan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Terlambatnya keterlibatan DPR membuat penyelesaian krisis menjadi lebih lama dan sulit. Untuk masa yang akan datang, keterlibatan DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) perlu dilakukan sejak awal agar penyelesaian krisis memiliki dasar yang kuat dan dapat berjalan baik.
Dalam hal ini diperlukan satu undang-undang yang mengatur bagaimana penyelesaian yang harus dilakukan kalau terjadi krisis sistemik pada sektor keuangan seperti telah diamanatkan oleh Pasal 11 ayat (5) Undang-Undang No 23/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 3/2004 tentang Bank Indonesia.
Indonesia harus banyak belajar pada krisis yang melanda Amerika. Bahwa negara semaju Amerika pun tak bisa menjamin stabilitas perekonomiannya melalui logika semata. Menuhankan logika semata akan berbuah kepanikan seperti yang dirasakan masyarakat Amerika saat ini, akibat krisis ekonomi yang muncul di luar perhitungan akal mereka.
Salah satu syarat menjadi negara yang disegani dalam konstelasi ekonomi dunia adalah keberadaan pasar modal yang sehat, kuat, dan mandiri sehingga tidak cepat goyah menghadapi hantaman krisis. Salah satu solusinya, memperkuat basis investor lokal secara kualitas dan kuantitas. Cara yang paling cepat dan efektif adalah edukasi yang benar kepada masyarakat tentang investasi di pasar modal sehingga memiliki kecerdasan berinvestasi. Investor yang cerdas dalam pengambilan keputusannya akan menggunakan pertimbangan rasional, bukan emosional seperti kebanyakan investor lokal saat ini. Kecerdasan inilah yang akan mendorong kualitas keputusan investasi yang diambil. Dengan demikian, suatu saat cerita suka (sukses investasi) lebih dominan dari cerita duka (gagal investasi). Bila ini terjadi, investor lokal akan semakin percaya bahwa investasi di pasar modal manageable dan menguntungkan. Emiten yang sahamnya dibeli investor, harus menerapkan good corporate governance sehingga laporan atau publikasi yang dikeluarkan mencerminkan keadaan sebenarnya. Hal ini akan menghilangkan asymmetric information yang selama ini sangat merugikan investor. Solusi ini harus terintegrasi sebab itu perlu sinergi berbagai pihak yang terkait, dalam hal ini adalah otoritas keuangan (Bapepam) sebagai representasi pemerintah, emiten dan investor, serta lembaga pendidikan. Insya Allah berhasil.
Solusi jangka pendek yang bisa ditawarkan adalah memperscepat realisasi pembangunan infrastruktur, khususnya di wilayah pedesaan, sebagai jalan untuk menyerap anggaran dan memicu kegiatan ekonomi. Infrastruktur pedesaan relatif mudah dan murah untuk dibangun sehingga masih dalam batas kemampuan anggaran negara untuk membiayai. Lebih penting dari itu, infrastruktur pedesaan berpotensi mempercepat pemulihan kegiatan ekonomi karena sebagian besar penduduk bermukim di wilayah-wilayah tersebut. Sedangkan dalam jangka menengah, diperlukan langkah-langkah sistematis untuk membangun birokrasi yang adaptif dengan standar tata kelola pemerintahan.
Pada akhirnya. Apapun soal yang menjadi penyebab macetnya penyerapan anggaran, pemerintah harus segera mencari jalan keluarnya, pemerintah harus mencari terobosan-terobosan kreatif (tanpa harus menabrak prosedur) untuk mendorong setiap lembaga penyerap dana, seperti departemen-departemen teknis, memanfaatkan anggaran yang telah diratifikasi dalam APBN.
BAB 6
KESIMPULAN
Penyebab krisis ekonomi AS:
1. Penumpukan hutang nasional hingga mencapai 8.98 trilyun dollar AS sedangkan PDB hanya 13 trilyun dollar AS
2. Terdapat progam pengurangan pajak korporasi sebesar 1.35 trilyun dollar. (mengurangi pendapatan negara)
3. Pembengkakan biaya Perang Irak dan Afganistan (hasilnya Irak tidak aman dan Osama Bin Laden tidak tertangkap juga) setelah membiayai perang Korea dan Vietnam.
4. CFTC (Commodity Futures Trading Commision) sebuah lembaga pengawas keuangan tidak mengawasi ICE (Inter Continental Exchange) sebuah badan yang melakukan aktifitas perdagangan berjangka.Dimana ECE juga turut berperan mengdongkrak harga minyak hingga lebih dari USD 100/barel
5. Subprime Mortgage: Kerugian surat berharga property sehingga membangkrutkan Merryl Lynch, Goldman Sachs, Northern Rock,UBS, Mitsubishi UFJ.
6. Keputusan suku bunga murah dapat mendorong spekulasi.
Akhirnya, dari keseluruhan uraian di muka bisa didapatkan deskripsi bahwa secara umum kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia masih belum padu sehingga menimbulkan beragam persoalan ekonomi. Kebijakan fiskal di Indonesia masih dihantui dengan dua masalah kunci, yakni keterbatasannya untuk menjadi stimulus fiskal (salah satunya karena penyerapan anggaran yang rendah) dan ketergantungan penerimaan negara dari sektor pajak. Sedangkan kebijakan moneter yang terkonsentrasi kepada penargetan inflasi, disamping mendatangkan keuntungan juga mengakibatkan kerugian. Salah satu kerugian itu adalah dikorbankannya suku bunga (tinggi) sebagai jalan menahan inflasi.
Implikasi dari kebijakan ini menurunnya minat investor untuk membuka usaha. Tentu saja, kebijakan moneter seperti itu juga berimbas ke sektor perbankan, yang salah satunya bisa dibaca dari rendahnya LDR. Bahkan, yang lebih mennyedihkan, sektor perbankan lebih memilih menyalurkan dananya untuk membeli SBI ketimbang memberikan kredit ke masyarakat. Juga, kredit perbankan sebagian besar lari ke sektor industri, perdagangan, dan pengangkutan. Oleh karena, agenda mendesak yang harus dilakukan pemerintah adalah memulihkan kembali fungsi perbankan sebagai intermediasi keuangan sehingga dapat memacu sektor riil secara lebih cepat.
Itulah sebabnya, sebagai bangsa yang religius, bangsa Indonesia sejatinya tidak akan mudah panik, karena terbiasa dengan kesadaran-kesadaran alternatif sebagaimana diajarkan oleh agama. Dan hal tersebut harus didukung oleh langkah-langkah rasional dan penjelasan-penjelasan konstruktif yang dilakukan pemerintah sehingga masyarakat tidak panik dan cemas. Penjelasan tersebut, misalnya, terkait dengan fundamen ekonomi kita di tingkat nasional yang baik dan terkelola. Dalam keadaan seperti ini, yang penting, di samping kita terus melakukan antisipasi dan pengelolaan, kita harus bersinergi agar tidak terpuruk dalam krisis baru di tengah kita berjuang keluar dari krisis. Semoga.
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2007
Insukindro, 2003. Kebijakan Moneter Yang Tidak Diantisipasi Dan Pengaruhnya Terhadap Komponen Pasar Uang Indonesia. (makalah disampaikan dalam Kongres ISEI ke-XV di Batu, 13 – 15 Juli. Tidak dipublikasikan).
Mukhlis. 2007, Peran FDI dalam Pengelolaan Sumber Daya Mineral di Indonesia. (Makalah disampaikan dalam FIPI ISMEI dan BEM FE Universitas Negeri Malang.) Malang, 23 Januari. (Tidak dipublikasikan)
Prasetiantono, A. Tony. 1995. Agenda Ekonomi Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Yustika, Ahmad Erani, Dr. 2007. Perekonomian Indonesia ; Satu Dekade Pascakrisis Ekonomi. BPFE-UNIBRAW.
Zakaria, Syawal, 2006 (Cetakan Kedua). Kebijakan Moneter dan Perkembangan Ekonomi Indonesia. Dalam Ahmad Erani Yustika. (ed,). Perekonomian Indonesia ; Deskripsi, Preskripsi, dan Kebijakan. Bayumedia. Malang.
Kompas , 27 September 2008,
3 Oktober 2008,
4 Oktober 2008,
5 Oktober 2008,
6 Oktober 2008,
7 Oktober 2008,
8 Oktober 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar