2.3.1. Perkembangan Base Money dan Ekses Likuiditas Perbankan
Menurut Bank Indonesia (2007:95-97) menyatakan bahwa Peningkatan base money sejalan dengan kegiatan perekonomian. Pada akhir tahun 2007, base money tumbuh 27,8% menjadi Rp. 379,6 triliun. Kondisi tersebut terutama disumbang oleh cukup tingginya pertumbuhan uang kartal di masyarakat selaras dengan berlanjutnya ekspansi perekonomian di sektor riil. Sementara itu, perkembangan Giro Wajib Minimum (GWM) milik perbankan lebih moderat. Insentif Loan to Deposit Ratio (LDR) mengurangi kewajiban pemenuhan GWM sebesar Rp. 1,0 triliun. Di luar GWM, giro perbankan (excess reserve) meningkat signifikan dari tahun sebelumnya. Hal itu terjadi pada hari terakhir tahun 2007 terkait dengan realisasi pengeluaran Pemerintah di akhir tahun.
Kenaikan base money, terutama, dipengaruhi oleh aktivitas Pemerintah dan Bank Indonesia. Peningkatan permintaan uang primer yang mencapai Rp. 82,5 triliun dari tahun sebelumnya masih dapat dipenuhi oleh transaksi rupiah Pemerintah yang bersifat ekspansif dan aktivitas Bank Indonesia. Tambahan likuiditas bersih dari Pemerintah yang bersumber dari rekeningnya di Bank Indonesia mencapai Rp. 66,9 triliun, menurun signifikan dari tahun 2006 (Rp. 115,1 triliun). Dalam kondisi rasio defisit fiskal terhadap PDB yang sedikit meningkat dari 0,9% pada tahun 2006 menjadi sekitar 1,3% pada tahun 2007, penurunan tersebut ditengarai terkait dengan perubahan strategi financing Pemerintah yang lebih menitikberatkan kepada penerbitan SUN di dalam negeri daripada pemanfaatan rekeningnya di Bank Indonesia. Sementara itu, aktivitas Bank Indonesia menambah likuiditas dari biaya pengelolaan moneter. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan komitmen Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai rupiah demi terpeliharanya stabilitas makroekonomi yang berkesinambungan.
Ekses likuiditas di pasar uang bertambah. Bank Indonesia melakukan penyerapan melalui OPT untuk mengurangi likuiditas yang bertambah lebih besar dari kebutuhannya. Pada tahun 2007, posisi OPT secara agregat meningkat Rp. 39,2 triliun sehingga mencapai Rp. 281,2 triliun. Naiknya posisi OPT tersebut mencerminkan terus bertambahnya ekses likuiditas di pasar uang yang belum mampu digunakan secara optimal dalam kegiatan perekonomian di sektor riil. Dalam hubungannya dengan itu, berbagai upaya, seperti pendalaman pasar keuangan (financial deepening), serta peningkatan komitmen dan konsistensi Bank Indonesia dalam melakukan operasi moneter di pasar uang akan terus dilanjutkan. Di samping itu, berbagai kebijakan di sektor riil semakin diperkuat guna mempercepat pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya dapat menyerap ekses likuiditas secara permanen (Bank Indonesia, 2007:96-97).
Masalah likuiditas pada sistem keuangan kita perlu diatasi secepatnya. Bila tidak, perlambatan pertumbuhan bisa lebih buruk dari yang diperkirakan. Salah satu hal yang dapat dikerjakan dalam waktu dekat adalah percepatan penyaluran anggaran pemerintah. Selain, mengelola penyaluran tersebut agar lebih merata sepanjang tahun. Jika hal itu dilakukan, kondisi likuiditas pada sistem keuangan kita akan menjadi lebih baik. Pengetatan likuiditas memang diperlukan untuk mengatasi kenaikan tekanan inflasi akhir-akhir ini. Namun, level likuiditas yang tepat juga tetap diperlukan untuk menopang target pertumbuhan ekonomi yang telah direncanakan. Target pertumbuhan ekonomi yang tinggi tentu membutuhkan tingkat likuiditas dana yang mencukupi.
2.3.2. Likuiditas Perekonomian
Likuiditas perekonomian yang tercermin pada M1 dan M2 menunjukkan peningkatan. Pada akhir Desember 2007, likuiditas perekonomian dalam arti sempit (M1) tumbuh 27,6% sehingga mencapai level Rp. 460,8 triliun. Likuiditas perekonomian dalam arti luas (M2) tumbuh 18,9% atau tercatat sebesar Rp. 1.643,2 triliun. Pertumbuhan likuiditas perekonomian tersebut dapat dikategorikan tinggi apabila dibandingkan dengan kondisi historisnya dalam 5 tahun terakhir kendati secara rasio terhadap PDB relatif stabil dari tahun sebelumnya. Tingginya pertumbuhan likuiditas perekonomian tersebut mengindikasikan potensi tekanan inflasi ke depan. Sebagaimana pertumbuhan nominalnya, pertumbuhan tahunan riil2 M1 dan M2 juga meningkat mencapai masing-masing sebesar 21,0% dan 12,3%.
BI Rate cukup kuat memengaruhi perkembangan komponen likuiditas perekonomian. Penurunan BI Rate memengaruhi komponen likuiditas perekonomian yang berupa semakin meningkatnya preferensi likuiditas masyarakat seperti tampak pada percepatan pertumbuhan tabungan relatif terhadap deposito. Hal tersebut diikuti pula oleh semakin meningkatnya aktivitas giro milik swasta sejalan dengan bergairahnya pasar saham. Perkembangan giro milik swasta tersebut, terutama, didominasi oleh kelompok asuransi, dana pensiun, dan kategori lainnya (antara lain, perusahaan sekuritas atau manajer investasi). Hubungan antara indeks saham dengan kelompok giro itu meningkat pasca 2005. Hal tersebut mengindikasikan kemungkinan terjadinya peningkatan peran institusi dalam meramaikan pasar saham domestik.
Faktor domestik dominan mempengaruhi perkembangan likuiditas perekonomian. Faktor domestik dalam bentuk kredit kepada sektor bisnis mendominasi kinerja likuiditas perekonomian. Pada Desember 2007, total kredit untuk sektor tersebut naik 26,4% atau secara level bertambah sebesar Rp. 208,0 triliun dari posisi akhir tahun 2006. Dari jumlah itu sebesar Rp. 154,0 triliun disalurkan dalam bentuk kredit rupiah, sedangkan selebihnya Rp. 54,0 triliun atau USD 5,0 miliar berupa kredit dalam valuta asing. Faktor eksternal yang tercermin pada perkembangan aktiva luar negeri bersih (Net Foreign Assets – NFA) secara keseluruhan meningkat sebesar 27,0% atau secara level bertambah sebesar Rp.111,4 triliun. Tambahan tersebut terjadi pada NFA Bank Indonesia sejalan dengan meningkatnya cadangan devisa yang bersumber dari penerimaan hasil migas akibat tingginya harga minyak dunia. Sementara itu, NFA perbankan justru menurun, terutama, pada sisi foreign asset dalam bentuk call money dan demand deposit pada bank di luar negeri (Bank Indonesia, 2007:97-98).
Ketatnya likuiditas valas juga akan menghambat transaksi pembiayaan untuk ekspor-impor. Bank cenderung enggan meminjamkan dananya. Dari pelonggaran GWM valas, tambahan likuiditas valas yang bisa diserap pasar mencapai USD 721 juta. BI juga akan menyediakan berapa pun USD yang dibutuhkan korporasi untuk ekspor-impor, bayar utang, atau modal kerja. Sementara itu, kondisi pasar keuangan semakin kondusif dari hari ke hari. Indeks harga saham gabungan (IHSG) terus menguat menyusul membaiknya kondisi bursa global. Namun, investor diimbau tidak gegabah karena kondisi pasar keuangan dunia masih labil.
Pada penutupan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia, IHSG melonjak 94,09 poin atau naik 6,44% menjadi 1.555,96. Kenaikan indeks seluruh saham di BEI ini merupakan yang terbesar dalam beberapa pekan terakhir setelah sebelumnya anjlok akibat sentimen negatif terkait krisis keuangan di AS dan Eropa. Kenaikan yang lebih tinggi dialami Indeks Kompas100. Indeks Kompas100, yang beranggotakan 100 saham dengan kapitalisasi pasar terbesar serta memiliki fundamental yang baik, naik 7,56% menjadi 380,71. Namun, sekalipun indeks mengalami kenaikan cukup tinggi, total nilai perdagangan saham kemarin relatif kecil, hanya Rp. 2,36 triliun. Hal ini disebabkan oleh rentang kenaikan dan penurunan harga saham yang dibatasi maksimal 10%. Batasan yang diberlakukan BEI bertujuan agar pergerakan indeks stabil, tidak terlalu berfluktuasi.
Pemerintah memutuskan untuk mempercepat pencairan anggaran sebesar Rp. 25,9 triliun dari Rp. 290 triliun pos stimulasi pertumbuhan dan jaring pengaman sosial di APBN 2008 untuk memperlonggar likuiditas. "Oktober ini pemerintah akan mempercepat pengeluaran anggaran sebesar Rp. 25,9 triliun sebagaimana dijelaskan Menteri Keuangan, ini likuiditas yang diperlukan dan bisa menjamin terus berputarnya dan bergeraknya kegiatan ekonomi di Indonesia," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Kompas, Jum’at 10/10/2008). Pemerintah mengantisipasi dampak krisis keuangan Amerika Serikat yang mulai memberikan pengaruh secara global dan melakukan sejumlah langkah, antara lain memastikan pembelanjaan pemerintah tetap sesuai dengan APBN-P 2008 untuk memberikan rangsangan kepada pertumbuhan dan juga menjaga jaring pengaman sosial bagi masyarakat.
Dengan demikian selama Januari-Oktober 2008 anggaran untuk stimulasi pertumbuhan ekonomi dan jaring pengaman sosial dalam pos APBN 2008 sebesar Rp. 290 triliun telah dikeluarkan 60% dan diharapkan pada bulan-bulan mendatang, anggaran yang tersisa dapat dialirkan sesuai sasaran. Presiden menegaskan, belajar dari kegagalan kapitalisme global dan ketidaksempurnaan mekanisasi pasar yang terlihat sejak adanya depresi pada 1930, krisis keuangan Asia 1998 dan juga krisis keuangan AS pada 2008 maka arah pembangunan nasional yang tidak bertumpu pada sumber-sumber keuangan di luar kemampuan dalam negeri sudah tepat. "Arah pembangunan ekonomi yang ditempuh sudah benar, jangan sampai kita tergantung pada faktor di luar jangkauan kita, kita harus gunakan sumber daya dan finansial".
Apabila kedepannya lagi BI Rate dinaikkan itu dapat semakin menekan kondisi likuiditas di pasar dan akan mendorong kalangan perbankan untuk kembali menyesuaikan suku bunga pinjaman dan suku bunga depositonya.
Jika BI Rate dinaikkan itu asumsinya pasar likuiditas semakin diketatkan dan dikhawatirkan akan terjadi lagi perebutan likuiditas di kalangan perbankan dengan menaikkan kembali suku bunga deposito tanpa kendali. Kondisi likuiditas saat ini masih kering dan diperlukan adanya kebijakan untuk membantu sektor moneter supaya menjamin ketersediaan likuiditas. Jadi, sebaiknya bank sentral mempertahankan BI Rate atau menurunkannya.
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Sejak pertengahan 2007, kondisi ekonomi dunia ditandai oleh kondisi yang kurang menggembirakan, dipicu oleh munculnya krisis subprime mortgage di pasar keuangan AS yang dampaknya dengan cepat menjalar ke negara-negara maju dan berkembang lainnya. Setelah mencapai pertumbuhan 5,1% di tahun 2006, pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi dunia menurun menjadi 5%, dan selanjutnya menurun ke tingkat 4,6% (yoy) pada triwulan pertama 2008 dan ke tingkat 3,9% pada triwulan kedua 2008. Pelemahan tersebut disamping disebabkan oleh krisis keuangan, juga dipengaruhi oleh melambungnya harga minyak hingga sempat menyentuh level USD 145 per barrel di bulan Juli 2008 serta kenaikan harga komoditas makanan. Akibatnya, tekanan inflasi dunia juga semakin meningkat. Menghadapi ancaman stagflasi di atas, negara-negara di dunia dihadapkan pada pilihan kebijakan ekonomi makro yang sulit. Di banyak emerging market, terutama negara yang inflasinya sudah berada di atas tren, bank sentral melakukan kebijakan moneter ketat yang dikombinasikan dengan pengendalian fiskal yang lebih disiplin, serta dalam beberapa kasus pengelolaan kebijakan nilai tukar yang lebih fleksibel. Tantangan tambahan bagi negara berpenghasilan rendah dan menengah adalah untuk menyediakan kebutuhan pangan yang memadai namun dengan tetap menjaga inflasi.
3.2. Dari sisi kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI) secara konsisten mengarahkan kebijakannya untuk mencapai inflasi yang rendah dan stabil melalui penerapan Inflation Targeting Framework (ITF). Dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi makro terakhir serta arah perkembangan inflasi ke depan, BI Rate dalam 3 bulan terakhir dinaikkan secara bertahap dengan posisi terakhir pada akhir Agustus 2008 berada pada level 9%. Keputusan tersebut dimaksudkan untuk memantapkan stabilitas perekonomian dan sistem keuangan, khususnya untuk mendukung pencapaian sasaran inflasi dalam jangka menengah sebesar 3,5%. Tekanan inflasi yang kuat terutama bersumber dari tingginya gejolak harga minyak dan pangan dunia, serta faktor internal berupa tekanan yang berasal dari permintaan dalam negeri. Guna mengefektifkan kebijakan moneter, naiknya suku bunga kebijakan perlu diiringi dengan optimalisasi dalam penggunaan instrumen kebijakan moneter lainnya seperti pengendalian volatilitas nilai tukar dan penyerapan ekses likuiditas melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT). Sebagai salah satu upaya dalam rangka penyempurnaan kerangka operasional kebijakan moneter, maka pada tanggal 9 Juni 2008 Bank Indonesia telah menetapkan secara resmi suku bunga PUAB O/N sebagai sasaran operasional kebijakan moneter menggantikan ratarata tertimbang SBI 1 bulan. Dengan upaya ini, maka penggunaan seluruh instrumen OPT yang dimiliki Bank Indonesia akan diarahkan untuk mengelola likuiditas perbankan secara optimal sehingga suku bunga pasar uang (PUAB O/N) dapat bergerak dalam kisaran BI Rate.
3.3. Kondisi perekonomian Indonesia yang terpuruk akibat krisis memerlukan upaya pemulihan dengan menggunakan kebijakan moneter. Kebijakan yang diterapkan berupa inflation targeting yang telah berhasil mengentaskan problem inflasi di berbagai negara di dunia. Target inflasi dicetuskan dari perkembangan evolusi teori-teori ekonomi dan dalam pelaksanaannya ditentukan oleh kondisi suatu negara dengan prasyarat-prasyarat untuk keberhasilan sistem ini.
3.4. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter diharapkan dapat mengembangkan kebijakan yang secara efektif dapat memulihkan stabilisasi ekonomi jangka pendek dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi berkelanjutan, dengan ongkos yang minimal. Pemulihan kondisi ekonomi yang stabil bukan hanya ditentukan oleh faktor internal, namun juga faktor eksternal, misalnya kondisi politik dan keamanan negara.
SEKIAN
Hatur Nuhun / Terima Kasih / Thank You
adhan_555@yahoo.co.id
DAFTAR PUSTAKA :
Asworo, Hendri T dan Fajar Sidik. (2008). Kenaikan BI Rate Diyakini Tak Mengganggu Ekonomi. [Online]. Tersedia:http://www.bisnis.com [15 Oktober 2008]
Bank Indonesia. (2007). Laporan Perkonomian Indonesia 2007 : Menjaga Stabilitas, Mendukung Pembangunan Ekonomi Negeri. Jakarta : Bank Indonesia.
_______________. (2008). Laporan Kebijakan Moneter Triwulan III-2008. [Online]. Tersedia:http://www.bi.go.id [15 Oktober 2008]
______________. (2008).Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Volume 10. [Online]. Tersedia:http://www.bi.go.id/buletin [15 Oktober 2008]
______________. (2008).Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Volume 11. [Online]. Tersedia:http://www.bi.go.id/buletin [15 Oktober 2008]
______________. (2008). Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2013, Edisi Juli 2008. [Online]. Tersedia:http://www.bi.go.id/ieo [15 Oktober 2008]
Chairuddin. (2008). Analisis Posisi Likuiditas. [Online]. Tersedia:http://www.fe-usu.ac.id/manajemen [15 Oktober 2008]
Deliarnov. (2007). Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Djinarto, Bambang. (2000). Banking Asset Liability Management. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Portal Berita. Perekonomian Indonesia. [Online]. Tersedia:http://www.inilah.com [15 Oktober 2008]
Rivai, Veithzal, dkk. (2007). Bank and Financial Institution Management: Conventional and Sharia. Jakarta : Raja GrafindoPersada.
Surendro, Braman.Likuditas Perlu Dikelola. Kompas (8 September 2008)
Suryana. (2000). Ekonomi Pembangunan : Problematika dan Pendekatan. Jakarta : Salemba Empat
Sutanto, Seruni. (2008). Berbagai Hambatan dalam Penerapan Kebijakan Moneter Inflation Targeting. [Online]. Tersedia:http://www.stie-stikubank.ac.id/webjurnal [15 Oktober 2008]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar